Siti Hajar
Siti Hajar bertanya untuk yang terakhir kalinya,
“Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?” Nabi Ibrahim menjawab,
“Ya.” Siti Hajar pun berucap,
“Allah tidak akan mengabaikan kami.”
Dialog di atas adalah penggalan dari hadist Bukhari ketika Nabi Ibrahim as hendak meninggalkan Siti Hajar dan bayinya (Ismail), di tengah gurun pasir yang tidak berpenghuni (yang sekarang kita sebut Mekkah). Tetapi peristiwa ini justru membawa berbagai hikmah dan karunia Allah SWT yang alhamdulillah masih kita nikmati sampai detik ini.
Setelah ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim as dengan bekal seadanya, Siti Hajar pun tak tinggal diam. Perempuan tangguh ini mulai berusaha mencari sesuatu untuk menyambung hidupnya dan bayinya. Naluri keibuan mendorongnya untuk berlari-lari dari satu bukit kebukit lainnya, dari Shafa ke Marwah bolak-balik sampai tujuh kali.
Siapa sangka perbuatan seorang perempuan berabad-abad lampau ini akan diabadikan oleh Allah SWT sebagai salah satu dari syiar-Nya, seperti yang difirmankan dalam surat Al Baqarah : 158, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Siapapun yang melakukan ibadah haji dan umrah pastilah akan meniru perbuatan Siti Hajar lewat ibadah Sa’i. Sa’i merupakan perlambang dari suatu perjuangan hidup. Shafa berarti kesucian dan ketegaran, sedangkan Marwah berarti kepuasan dan penghargaan serta murah hati. Oleh karena itu apa pun yang dilakukan seseorang harus dimulai dengan kesucian hati disertai dengan ketegaran dalam mencapainya, sehingga dapat memperoleh kepuasan yang maksimal.
Jarak antara Shafa dan Marwah tidak kurang dari 405 meter, jadi jika dikalikan 7 maka jarak yang ditempuh Hajar adalah 2835 meter atau sekitar 3 km. Sekarang kedua bukit tersebut sudah menjadi bagian dari Masjidil Haram. Jemaah haji dan umrah dapat merasakan kenyamanan melakukan ibadah tersebut. Lantai marmer memudahkan perjalanan antar kedua bukit tersebut. Belum lagi kenyamanan terhindar dari teriknya matahari yang menyengat, dikarenakan adanya atap mesjid dan semilir udara sejuk dari pengatur udara. Air zam-zam pun tersedia di beberapa tempat sepanjang kedua bukit itu, yang memungkinkan orang dapat beristirahat dengan nyaman sebelum melanjutkan ibadahnya. Bayangkanlah situasi dan kondisi Siti Hajar saat itu, seorang perempuan di tengah gurun pasir yang panas.
Air Zam-zam
“Allah tidak akan mengabaikan kami,” kata Siti Hajar. Suatu keyakinan mutlak kepada-Nya disertai dengan usaha yang gigih, dijawab Allah SWT dengan munculnya sumber air yang penuh berkah.
Saat itu Siti Hajar di Bukit Marwah dan mendengar suara. Ia lalu terdiap dan berkata, “diam!” Setelah diperhatikan betul-betul bahwa ia memang mendengar ada suara, ia pun lalu berkata, “ aku mendengar suaramu. Tolonglah aku jika engkau memiliki kebaikan.” Malaikat Jibril pun lalu menampakan diri dan melalui hentakan kaki Ismail, memancarlah air dari dalam bumi. Siti Hajar lalu membendung air itu dan karena begitu melimpahnya, ia berkata, “zam....zam....zam....” (berkumpulah, berkumpulah). Dengan air inilah lalu Siti Hajar menyambung kehidupannya. Mata air ini lalu dikenal dengan nama ‘sumur zam-zam’.
Setelah Beberapa hari Siti Hajar dan anaknya tinggal dekat mata air ini, datanglah orang-orang turun dari Mekkah bagian bawah dan melihat burung. Mereka pun lalu berkata, “burung itu biasanya berputar-putar di sekitar air. Kami yakin di lembah ini ada air.” Mereka pun lalu mengutus beberapa orang Suku Jurhum, yang mewakili bangsanya untuk berkenalan sekaligus meminta izin untuk memanfaatkan air tersebut dan tinggal di sana. Siti Hajar pun dengan senang hati menerima mereka, hingga kemudian muncullah komunitas baru di sekitar air zam-zam.
Nabi Ismail As
Anak adalah titipan Allah. Kasih sayang bukan diwujudkan dengan kemanjaan yang berlebihan, tapi kasih sayang yang disertai dengan pendidikan yang baik. Lagi-lagi Siti Hajar memberi contah kepada kita, Ismail tumbuh menjadi anak yang shaleh. Dalam surat As Shaffat : 102, terdapat dialog bapak-anak yang menggambarkan keshalehan keduanya dan kepatuhan anak kepada bapaknya. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Dialog ini merupakan rangkaian dari salah satu peristiwa besar yang selalu kita peringati setiap tahun, yaitu Idul Adha.
Bersama Ismail pula, Ibrahim membangun Ka’bah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah : 127, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo’a), “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Di Masjidil Haram terdapat bagian yang disebut Hijr Ismail atau pangkuan Ismail, di sanalah Ismail pernah dalam pangkuan ibunya dan konon kuburan Siti Hajar pun berada di situ. Subhanallah.....siapakah Siti Hajar, sampai memperoleh berbagai anugrah yang tak terkirakan itu?
Siti Hajar
Hadist Bukhari menyebutkan bahwa Siti Hajar merupakan hadiah seorang raja untuk Sarah, istri Nabi Ibrahim as. Siti Hajar adalah seorang budak kulit hitam dari Ethiopia. Ia dikawini oleh Nabi Ibrahim as atas usul dari Sarah yang merasa sudah terlampau tua untuk memperoleh keturunan.
Literatur mengenai Siti Hajar relatif sangat sedikit, tetapi banyak hal yang berkaitan dengannya. Siti Hajar tidak hanya berkaitan dengan sa’i, air zam-zam dan putranya Nabi Ismail as, bahkan nabi penutup, Nabi Muhammad saw merupakan keturunan Siti Hajar. Berbagai anugrah yang diterima Siti Hajar merupakan bukti bahwa Allah tidak pernah melihat fisik seseorang, tetapi yang dilihat hanyalah ketaqwa’an kepada-Nya.
Renungan dari Ali Shariati, seorang cendikiawan muslim, mungkin dapat membantu kita memahami bagaimana Allah Yang Maha Kuasa menetapkan pilihan kepada Siti Hajar :
Di antara semua manusia : seorang perempuan
Di antara semua perempuan : seorang budak
Di antara semua budak : seorang sahaya yang berkulit hitam.
Siti Hajar merupakan pesan sempurna dari-Nya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Juga suatu simbol persamaan ras dan status sosial. Dengan kata lain, simbol ini juga sekaligus menandakan bahwa Islam sejak dari awal pertumbuhannya mengutamakan persamaan ras dan status sosial serta kesetaraan antar jenis kelamin. Wallahu a’lam bishawwaab.
(Disadur dari : NOOR, no.12/TH.II/Desember 2004)
SalaMAA @
1:10 AM