Kehidupan manusia yang terasa panjang, namun bagi setiap individu adalah terbatas. Tiada waktu yang tersedia begitu lapang, tiada kenikmatan yang dirasakan kecuali sifatnya hanya sementara. Ataupun kalau kita mempunyai umur juga tidak akan panjang sampai ratusan tahun lamanya.
Jika manusia berkeinginan untuk mengumpulkan harta di dunia sebanyak-banyaknya, maka itupun tidak akan bisa dinikmati semua. Kerja dengan sekuat tenaga membanting tulang untuk mengumpulkannya. Namun suatu saat juga akan jatuh sakit, maka harta tidak akan bisa di nikmatinya juga. Maka cita-ciatnya yang dibangun untuk menikmati harta sirna, akibat menderita sakit.
Allah berfirman QS, Al Mulk 67:21 "Atau siapakah dia ini yang memberikan kamu rezeki jika Allah menahan rezekiNya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan mejauhkan diri?"
Pada dasarnya manusia megetahui hakikat kebenaran ayat di atas, akan tetapi mereka berbeda dalam mengambil manfaat dan ibrah (pelajaran) yang terkandung di dalamnya. Banyak manusia yang melihat bahwa nikmatnya hidup apabila dapat membangun istana kemegahan dengan kemewahan dan kenikmatan. Ada juga yang menterjemahkan bahwa mengumpulkan harta dengan menyimpannya, adapun dirinya dan orang lain dilarang untuk menikmati harta yang telah dikumpulkan.
Di sisi lain manusia lupa akan keterbatasan dan ketidak mampuan dalam menterjemakan akan arti syukur serta kemurahan Allah memberikan rizkinya pada siapapun. Lupa bahwa setiap rezeki yang diberikan dan didapatkannya hanya merupakan sebuah titipan dan wasilah (perantara) untuk beribadah dan berbakti kepadaNya.
Bakhil atau pelit adalah sebuah penyakit yang timbul akibat individu atau manusianya yang lalai, egois yang tidak beraturan. Lupa bahwa harta yang dimiliki itu bukanlah untuk di banggakan atau disimpan dan dinikmati sendiri. Sehingga untuk mengeluarkan akan berpikir ribuan kali jika untuk surga, tapi bila untuk neraka maka berjuta-juta akan keluar.
Terkadang ada manusia yang sangat royal sekali apabila untuk dirinya sendiri, segala keinginannya harus terpenuhi dan terwujud. Sementara bagi keluarganya kebutuhan primer dan prioritas susahnya minta ampun untuk terwujudnya kebahagian keluarga dan ketentraman.
Ada juga manusia yang baik pada dirinnya dan keluarga. Semua kebutuhan baik untuk dirinya dan keluarga, terpenuhi dengan baik. Adanya tawazun (keseimbangan) dalam melaksanakan kebutuhan masing-masing. Tidak adanya ketimpangan diantara kedua belah pihak. Semuanya berjalan dengan seiring.
Timbulnya sifat bakhil dalam diri manusia disebabkan oleh :
- Lemahnya kepercayaan terhadap janji-jani Allah dan ganjaran yang diberikan. Taat terhadap bisikan setan ketika takut akan kefakiran apabila menginfaqkan hartanya. Sebagaimana firman Allah 2 : 268 "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari padaNya dan kamunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi mengetahui."
- Matinya rasa sosial dalam dirinya. Dominasi egois yang kental padanya. Seakan mereka mengira diciptakan dan hidup untuk dirinya saja.
Sesungguhnya kebahagian yang hakiki dan mulia tidaklah sempurna bila tidak dalam masyarakat yang merdeka dan mulia. Kebahagian masyarakat adalah wujud dari pada kebahagian masing-masing individu. Apabila hilang rasa sosial dalam umat dan masyarakat, maka lebih bahaya dari pada kemiskinan.
Maka rasul bersabda "Tidaklah beriman kepada Ku barang siapa yang tidur perutnya terisi sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya" ( HR Al Bazar dan Tabrani). Hadist ini menilik kepada setiap muslim agar peduli kepada sesamanya, peduli kepada tetangganya. Tidak memikirkan dirinya saja, mempunyai empati kepada sesama makhluk hidup.
Sharof atau berlebih-lebih, adalah sebuah sifat yang tidak baik bagi seorang muslim. Karena berlebih-lebihan itu merupakan teman setan. Suatu hal yang berlebihan akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Sunatullah yang berlaku bila setiap yang melampaui batas standar maka akan terjadi ketidakseimbangan.
Islam menyuruh kita agar dalam kehidupan kita ada tawazun (keseimbangan) tidak berlebihan dan tidak kikir. Sebagaimana tertera dalam firman Allah Q.S 25:67 "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan" Q.S 7:31.
Rasul bersabda "janganlah berlebih-lebihan walau kamu berada di sungai yang mengalir" (HR. Ibnu Majah).
Cara berfikir kita manusia terkadang tidaklah rasionalis, tidak berpikir sehat. Itu semua kembali lagi sampai dimana pemahaman tentang agama yang diyakini dan sejauh mana berinteraksi dengan Allah. Bagi mereka yang tsiqoh (percaya) dengan janji dan pahala yang Allah berikan, maka setitikpun tidak ada keraguan bahkan dengan ridho dan senang hati melaksanakannya.
Ketsiqohan kepadaNya sebagaimana di sinyalir dalam Q.S 2:272 "Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah." Ridho Allahlah yang akan memberikan kenikmatan bagi pelakunya. Hanya mengharapkan ganjaran dan membuktikan janji Allah.
Beberapa kisah tentang para sahabat yang benar-benar tsiqoh kepada janji Allah dan menyadari bahwa bakhil dan berlebihan adalah bukan sifat seorang muslim yang taat kepada Allah.
Abu Bakar adalah seorang yang dalam hidupnya sangat sederhana juga dalam makan dan berpakaian. Ketika perang Tabuk ada hal yang sangat menyentuh hati, dimana saat itu dibutuhkan dari kaum muslimin untuk menginfaqkan hartanya. Tanpa pikir panjang Abu Bakar menginfaqkan semua hartanya. Maka rasulullah berkata "Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?" Dijawab olehnya "Aku serahkan kepada Allah dan RasulNya." Diwaktu yang sama Umar membawa setengah dari hartanya. Ustman membawa banyak hartanya dan menginfaqkan hartanya untuk para sahabat yang ikut perang atas tanggungan beliau.