>
Photobucket - Video and Image Hosting
:::Photobucket - Video and Image Hosting Selamat datang di Blog Salamaa :::
Home
About Us
Ceramah
Arsip



SILATURAHMISALAMA




Email salamaa05@yahoo.com
Gabung di Milist Salamaa

bintang

stars2
Di Langit Masih Ada Bintang
Oleh: Pipiet Senja - Jakarta

Aku telah merasakan bagaimana berat dan rumitnya melakoni kehidupan menjanda, dan menanggung beban ituseorang diri. Bahkan belakangan aku pun harus menanggung beban orang tua, ikut membiayai adik-adikdan membayari utang ibuku kepada rentenir.

"Baiklah, semuanya terserah kepadamu," demikian komentar ayahku saat kusampaikan permintaan rujuk dari ayah anakku. Bapak tampak mulai lelah, karena harus beberapa kali keluar-masuk rumah sakit dengan penyakit urologi yang sudah kronis. Sebelum resmi menjawab rujuk itu, aku memboyong anakku dari Cimahi ke sebuah rumah sewa milik seorang ulamadi Cibubur. Rumah sewa berukuran empat kali lima, sebuah kamar, ruang depan, kamar mandi dan tanpa dapur. Beberapa bulan lamanya, di sinilah kami berdua tinggal.


Suatu malam di musim hujan, pukul dua dinihari tiba-tiba air masuk dari lubang-lubang di tembok yangmenghalangi kamar dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah terbangun lebih dulu, kemudianmengguncang-guncang tanganku. "Mama… kata orang ada banjir," bisiknya dengan sorotmata ingin tahu dan penasaran. Samar-samar memangkudengar suara gaduh di luar. Agaknya sungai kecil di belakang kompleks perumahan sewa itu meluap.
Aku meloncat dari dipan bertingkat, gegas kunaikkan jagoan kecilku ke bagian atas, dan aku berpesan wanti-wanti kepadanya. "Diam-diam di sini, ya Nak, Cinta…"

"Mama mau ke mana?" tanyanya sambil menggosok-gosok matanya, tentu masih mengantuk.

"Mama mau lihat keadaan sebenarnya, Nak." Tapi akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air bagaikan bah menerobos masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha orang dewasa. Kuselamatkanbarang-barang kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga hanya mesin ketik tua, baju, sedikit makanan kering dan buku-buku.

"Mama, itu si Mot Monyet! Duh, basah… kasihan!" seru anakku menunjuk-nunjuk buku favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di atas permukaan air. Gegas aku memungut dan memberikannya sambil kubujukbahwa buku favoritnya pasti bisa diselamatkan.

“Kita akan menjemurnya kalau hari sudah terang, ya Nak."

"Makasih, Mama…" gumam anak laki-laki berumur tiga tahun setengah itu, seraya memandangi gambar Mot Monyet yang mendelong kosong ke arahnya. Aku memalingkan muka dan mulai berpikir keras untuk sebuah penyelamatan, tanpa harus membekaskan luka dalam jiwa anakku. Sementara di luar hujan semakin deras, air kian meluap memasuki rumah petak kami. "Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul adziiim…" Maka kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku mengantisipasi banjir.

"Hujan datang, hujan datang, banjirnya…. Tuhan, jangan lama-lama hujannya. Jangan lama-lama banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal, kasihani kami… duaan!" celoteh anak yang baru duduk di bangku kelas Nol Kecil TK Ananda itu. Sementara aku berjibaku menyiuki air, membuangnya keluar rumah, anakku terus berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya, mengingatkan agar tidak berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas. Dia memainkannya dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai pengaitnya. Dua jam berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin deras, dan air tetaplah bergeming.

Keringat, peluh, banjir dan air mata mulai mengaduk-adukperasaanku. Inilah saat-saat paling sengsara yang belum pernah kami berdua alami. Ketakutanku lebih disebabkan sebuah tanggung jawab yang harus kupikul, demi menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus jujur, sesungguhnya merasa takut sekali tak sanggup menunaikan amanah yang telah diberikan Sang Pencipta di pundakku ini; anak! Pikiranku serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah batin…
Kupandangi wajah mungil yang kini tampak kelelahan pula, sepasang matanya balik menatap sayu kearahku, tapi mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak beberapa saat berselang. "Sudah, yah Ma… sini, kita doa aja, yah Ma, yaaah," ajaknya tiba-tiba.

"Iya yah, Nak… kelihatannya kita emang kudu mengalah sementara," sahutku sambil bersimbah air mata, keringat, campur aduk menjadi satu. Di situlah, di atas ranjang tingkat, mengisi waktu menjelang subuh, aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan berdoa. Seminggu hujan turun terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari langit. Banjir di mana-mana, meluap di kawasan perkampungan belakang kompleks perguruan Islam itu.
Berkali-kali air datang di malam hari, kemudian surut menjelang siang. Acapkali kami berdua sama sekali takbisa berbuat apa-apa untuk mencegah air masuk, atau menyiukinya saat banjir datang. Paling kami hanya memandangi pemandangan ajaib itu dari ranjang bertingkat selama berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa haus dan lapar hingga air surut kembali.

Suatu petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah kehabisan bekal, tak ada makanan kering, tak ada beras sebutir pun… Kocekku kosong sama sekali! "Mama… gak punya uang lagi, ya?" usik anakku, menatap dengan sorot mata yang memelas. Kupikir dia mulai tersiksa menahan rasa lapar. Sepanjang hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian tetangga, dan beberapa potong kue basah.

"Iya, Nak… Baru besok pagi kita ke kantor redaksi mengambil honor," sahutku sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makan untuk mengganjal perutnya malam ini.

"Kenapa besok?"
"Yah… naskahnya belum jadi nih…" Tidak, sesungguhnya bukan hanya itu alasannya. Aku tak punya ongkos. Besok ada tetangga yang menjanjikan meminjamiku uang alakadarnya.

"Oh…" kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah kami. Kutahu dia pun mulai tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat diperdengarkan oleh perut kami. Aaah, kubuang jauh-jauh rasa cengeng itu! Aku kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil menekan rasa bersalah yang meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai mencari-cari sesuatu untuk melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu persis demikian kebiasaannya. Benar saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet dan robot-robotan Megalomannya, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.

"Alkisah di zaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran… jrek-jrek jrek-jrek… nooong!" Bibirku niscaya mengerimut menahan senyum.

"Emak si Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa dijual… jrek-jrek jrek-jrek… nooong!" Bibirku niscaya kian mengerimut… menahan geli.

"Uangnya nanti bakal beli makanan anaknya… jrek-jrekjrek-jrek… nooong!" Ah, anak ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya, pikirku. Jari-jemariku semakin sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan… selesai!

"Aduuuh, si Mega sekarang lagi kelaparan… jrek-jrekjrek jrek… duuuh, duuh…"
"Soalnya berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrekjrek-jrek… nnnn… mmm, mmm…"
Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada ending cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagi.

"Ya Robb, kuatkan anakku," jeritku mengawang langit.

"Adduuh… Tuhan… Ekal kepingin makan… Tuhan… di mana makanannya… yah? Yo olooooh…?"

Aku masih melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun lagi dari sebelahku. Kuhentikan berjibaku dengan si Denok, demikian kunamai mesin ketik kunoku, kulirik dalang jejadianku tersayang yang telah membuat ibunya merasa geli… Ya Tuhan, apa yang terjadi atas dirinya?Anak itu, buah hatiku tercinta, belahan jiwaku, seluruh benteng pertahananku… Ya Tuhan, tampaklah dia menekuk kedua lututnya, memeluk robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet sudah terlepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di bawah kami….

"Naaak… Cintaaa, maafkan Mama, ya, maafkan Mama!" kuraih dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak tahan lagi dengan rasa laparnya itu erat-erat. Ada gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan, jangan, jangan biarkan anakku sakit. Jangan di saat-saat begini, jangaaan!Benteng pertahananku pun jebol sudah, air bening melaut dari sudut-sudut mataku, seolah-olah ingin menyaingi air banjir yang telah menggenangi tempat mukim kami selama berhari-hari.

"Mari kita pergi, Nak, Cinta," desisku gemetar.

"Ke mana kita, Ma?" lirihnya lemah saat kugendong dia dengan segala kekuatan yang masih kumiliki, tak peduli kusibak air sebatas lutut yang telah membuatku merasa terhalang untuk mencari nafkah lebih keras lagi. Malam telah membalut sekitar kami, tapi apa peduliku?

"Pssst, diamlah… Kita berdoa, kita akan cari makanan, ya Nak," bisikku di telinganya.

"Siiip!" serunya mengagetkan.

"Turunkan Ekal, Ma! Nanti limpa Mama sakit lagi…," pintanya pula serius sekali.

"Baik… tapi hati-hati, ya Nak." Berjalan kaki menembus tanah becek yang tiada terkira, kuperas otakku sedemikian rupa… bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk anakku? Nah, ada warung nasi, tapi dari mana uangnya?

"Tunggu dulu di sini sebentar, ya Nak," kulepaskan genggaman tangannya beberapa meter dari warung nasi itu. Tanpa banyak tanya, ini sesuatu pengecualian, biasanya sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku berlalu. Maka, kulempar segala perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.

"Ibu… maaf, bisa saya minta tolong ya Bu?" ujarku niscaya terdengar memelas. Perempuan paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah dia masih mengenaliku? Ada beberapa kali aku membeli makanan ke sini.

"Ya, ada apa?" tanyanya balik menatapku lekat-lekat.

"Saya butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu… Tapi bayarnya besok, ya Bu…."

"Ooooh…," desahnya mengambang di udara, membuat dadaku berdebaran keras. Tidak, kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada siapapun selain si ibu.

"Ibu kan kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri… Nah, ini, kalau gak percaya… mmm, saya jaminkan KTP ini, ya Bu…," kukeluarkan KTP dari saku gamisku.

"Oalaaa… Neng, Neng, yo wis… pake jamin-jaminan KTP segala," tukasnya sambil tersenyum ramah. Kutelan airmata yang seketika terasa asin, dan berjejalan hendak tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.

"Monggo, mau apa saja… Jangan sungkan-sungkan tho, Neng…." Begitu sayang Allah kepada kami, kataku dalam hati. Selang kemudian telah kujinjing dua bungkus nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan perkedel. Kaki-kakiku serasa mengapung saat kutinggalkan warung nasi itu.

"Semoga diberi rezeki oleh Allah berlipat-lipat, ya Bu," kesahku membatin.

"Makanannya dapat, ya Ma?" sambut anakku sambil menatap kantong kresek di tanganku lekat-lekat. Aku mengangguk dengan mata membasah.

"Horeee… asyiiik!" serunya berjingkrak kegirangan. Kami bergandengan tangan kembali ke rumah petak yang masih terendam oleh air sungai dan meluap kemana-mana. Tampak di belakang kami kegelapan mulai menyelimuti jalan setapak. Namun kutahu ada ribuan bintang sebagai suatu kekuatan maha hebat, yang tetap mengawal langkah-langkah kami berdua. Tahukah Saudara kekuatan apakah itu? Dialah Sang Maha Menggenggam yangtelah menjanjikan kepada kita, bahwa di antara kesulitan senantiasa disertai-Nya pula kemudahan.


SalaMAA @ 12:59 AM








LINKS
Daftar Makanan Haram
Radio Minaara
Binaurrijal
KZIS
Eramuslim
Kafemuslimah
Republika
Ummi
Fahima-Jepang
Kharisma-Jerman
Masjid ITS




GALERI WORKSHOP

Ito
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called workshop salamaa | delft 2007. Make your own badge here.


Jesty
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called WS Elly. Make your own badge here.

Ferry
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from workshop_salamaa2007. Make your own badge here.

Cuplikan Video Workshop

BERITA CUACA


PREVIOUS POST


ht

jujur

salamaa24

hay

sifat

syukur3

besengek

gudeg

novel6

koning


ARCHIVES
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
April 2008
June 2008
August 2008
September 2008
July 2009
September 2009
January 2010
May 2010
June 2010
July 2010
December 2010

Supported by
Blogger
Blogskins

Free JavaScript from

IKLAN ANDA