koning
Yang Tak Terlupa dari Koninginnedag
Oleh: Nopatakari Lahamid - Rijswijk
Sebenarnya "Koninginnedag" atau Queen's Day jatuh pada hari Minggu, 30 April 2006. Namun menimbang keesokan hari adalah hari Senin, maka ditetapkanlah satu hari sebelumnya yaitu, Sabtu, 29 April 2006. Ini ditujukan agar masyarakat dapat lebih menikmati dan lebih santai dalam merayakan hari lahir Ratu Juliana (Ibunda Ratu Beatrix) tersebut. Hari besar ini biasanya diadakan dengan berbagai pagelaran musik, atraksi "kermis", serta berjualan bebas yang dikenal dengan nama "vrijemarkt".
Setiap masyarakat yang ingin berpartisipasi dapat ikut dengan bebas tanpa membayar pajak dan sewa di tempat-tempat yang telah ditentukan, terkecuali pedagang komersial.Setelah makan malam hari itu, aku dan suami menjemput untuk mengumpulkan barang-barang yang akan di gelar di "vrijemarkt", sebagai tanda partisipasi kami dalam perayaan hari tersebut. Beberapa barang-barang dari Dessy yang tak dapat dibawa sendiri maka kami kumpulkan di dalam satu kendaraan angkutan walau dengan muatan seadanya. Lalu kami melanjutkan perjalanan untuk mencari kepastian dan kejelasan tentang lokasi dan situasi yang akan dihadapi pada hari H. Kami meluncur ke lokasi yang dimaksud dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Namun sesampainya di tempat, rasa tak percaya apa yang terjadi di hadapan kami sambil berkata penuh keheranan.
"Haaa, enggak salah nih?" kataku pada suami yang juga ikut bingung. "Lho, acaranya kan besok pagi.... Kenapa orang-orang sudah ramai berdagang dan berbelanja?" lanjutku lagi melihat orang-orang hilir mudik. Dan tempat menggelar tikarpun sebagian sudah penuh terisi dengan barang-barang yang telah diletakkan dengan rapi dan tertutup oleh kain kanvas atau terpal. Sambil memarkirkan mobil kami coba turun untuk melihat-lihat dan mencari lokasi yang masih memungkinkan untuk diisi. Aku melangkah menuju teras depan sekolah yang juga termasuk lokasi pagelaran. Aku coba memilih tempat tersebut untuk antisipasi hujan yang akan menimpa sebagaimana ramalan cuaca yang kami terima.
"Ayo, angkat barang-barang yang ada di bagasi mobil itu dan bawa ke mari", kataku pada suami yang juga sependapat untuk menurunkan barang-barang yang kebetulan waktu itu hanya barang-barang Dessy.
"Alhamdulillah, untung ada barang-barang ini. Kalau tidak bingung kita harus mencari barang dari mana sebagai tanda bahwa ada pemilik tempat?" sambungku. Lalu kutelepon Mba Johanna, Rita dan Dessy yang juga ingin berpartisipasi.
"Mba Jo, orang-orang sudah pada berjualan dan pembelipun sudah sibuk mencari barang yang mereka inginkan!" kataku dengan penuh semangat dan antusias walaupun kebingunganku melihat situasi yang belum pernah aku alami seumur hidup. Dalam siatuasi malam yang semakin larut akhirnya kami berhasil menyusun barang-barang yang ada dengan bantuan Abahnya Jasmijn (Mas Gun) setelah dijemput kembali oleh Ferry. Pak Peter dan Ayu yang akhirnya datang dengan bawaanya juga ikut menambah semaraknya situasi malam itu. Bahkan mereka dapat tinggal hingga larut malam menjelang. Namun aku tak dapat bertahan terlalu lama karena putraku sedang tertidur sendirian di rumah ketika kami tinggalkan.
Pagi hari yang cukup dingin dengan sinar mentari yang terpancar dari celah-celah awan yang menutup langit. Para pedagang "kagetan" mulai mengisi dan membentang tikar diiringi suara pasar yang hiruk pikuk. Saya, Ferry, Mba Johanna, Ayu, Dessy, dan Pak Peter juga sudah mempersiapkan semua yang akan diperdagangkan. Sementara Rita beserta adik-adiknya yang masih berada di perjalanan yang ditempuhnya dari Rotterdam kebingungan mencari lokasi yang kami pilih. Karena beberapa tempat lalu lintas umum yang diblokir dengan tujuan keamanan. Elly juga tidak ingin ketinggalan datang dengan semangat vrijemarkt-nya mengayuh sepeda baru berwana oranye bersama beberapa barang-barang yang akan dipasarkan.
Suasana semakin ramai dan semarak. Dan Julia yang hanya sekedar ingin melihat acara juga hadir meskipun hampir di penghujung acara. Endah yang ikut berpartisipasi tidak lupa menitipkan barang-barangnya demi meramaikan isi gelar tikar yang beragam jenisnya. Kamipun mulai mencari posisi masing-masing dengan mengharap tamu akan membeli dan menghabiskan bawaan kami, hihihihihi....
Siang menjelang tak terasa perutpun mulai bernyanyi minta diisi. Mba Johanna mulai membuat kopi dan teh di rumah Papinya yang terletak bertepatan di belakang lokasi. Hingga tidak terlalu jauh jika di tempuh berjalan kaki. Semangat kami tak kunjung turun. Pembeli mulai mengeluarkan uang recehannya membeli barang-barang yang kami tawarkan. Yah, apa hendak dikata, memang nasib belum berpihak kepada kami. Tak seberapa barang yang dapat diperjualbelikan. Karena suasana yang memang baru pertama kali di hadapi dan ragam manusia yang berbeda karakter membuat kami lebih bertahan.
Ada yang membeli barang tanpa menawar. "Berapa ini?" tanyanya.
"Satu euro Pak!" kataku. Ia pun dengan santai mengeluarkan uang lima puluh sen dari kantongnya tanpa basa basi atau tawar menawar lalu menyodorkannya padaku. Ia mengambil barang yang diinginkannya sambil berlalu.
"Maaf Pak, harganya satu euro!" kataku menjelaskan.
"Aah, ini kan sudah sedikit rusak, lima puluh sen saja!" tegasnya menjelaskan.
"Tidak bisa Pak, harganya memang satu euro. Jadi kurang lima puluh sen lagi!" sambungku menegaskan.
Tanpa berkata apa-apa lagi si Bapakpun berlalu tanpa rasa bersalah dengan meninggalkan aku yang kebingungan dan merasa kesal dalam hati. "Payah tuh Bapak, tanpa tawar-menawar main bawa saja. Maaf ya, memangnya hanya dia saja pembeli." kataku dalam bahasa Indonesia pada Dessy yang kebetulan duduk di hadapanku. Tentu saja dia tidak mengerti meski aku sedikit "ngedumel". Ternyata memang situasinya menjadi berbeda jika kita di posisi penjual. Kita ingin barang-barang laku terjual sesuai dengan harga yang kita inginkan, sedangkan si pembeli menginginkan barangnya murah dan bagus, hehehehe.... "Siapa yang tidak mau, betul nggak?" Tapi itulah yang dikatakan berjualan bebas yang sudah menjadi tradisi hari Koninginnedag itu.
Sebagaimana pengalaman kami selama ini sebagai pembeli yang mengharapkan harga serendah-rendahnya dan kualitas setinggi-tingginya. Namun dengan cara suka sama suka, artinya antara si penjual dan pembeli tidak ada rasa saling menyakiti. Tawar menawar itu soal biasa dalam berdagang di kaki lima, apalagi yang dinamakan "vrijemarkt".
Jarum jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Para polisi keamanan dan kebersihan sudah mengumumkan untuk mengumpulkan barang-barang sebagai tanda kegiatan sudah berakhir. Kamipun mulai mengumpulkan satu persatu sisa barang yang memungkinkan untuk dibawa pulang. Beberapa barang-barang yang juga tak perlu kami bawa pulang karena menghilang tanpa bekas juga ikut dirasakan. Suka duka yang kami alami merupakan pelajaran yang sangat berharga. Karena pengalaman adalah guru yang tak dapat digantikan dengan benda apapun dan waktu yang akan datang sekalipun tak dapat mengantikannya. Semoga pengalaman ini dapat di jadikan bahan untuk lebih memperhatikan situasi dan kondisi dalam menghadapi situasi apapun. Kita harus lebih mengenal "pasarnya" agar kita dapat menantisipasi apa yang akan terjadi meskipun segalanya itu datang dari yang Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Manusia hanya diperintahkan untuk berusaha dan berdo'a agar lebih tenang dan aman dalam menghadapi hidup ini. Semoga.
SalaMAA @
9:20 AM