Anak Gadis sang Imam
Oleh: Emine Şenlikoğlu
Diterjemahkan oleh: Emaknya Annisa
Gul melihat bahwa anak gadisnya benar-benar marah, sehingga ia pun bertanya dengan lembut, "Oh putriku sayang, jika seseorang hidup mengikuti Islam, bisakah dia menikmati hidupnya? Kamu menilai hidup liar bak gelandangan sebagai hidup yang akan menyenangkan. Bisakah seseorang menikmati hidupnya sendiri jika kehidupannya itu bergelimang dosa? Apakah kebebasan yang kamu dapat dalam batas-batas ajaran Islam tidak mencukupi? Apa-apa yang kamu bilang tentang anak perempuan seorang Imam, hal yang serupa, juga saya lakukan. Saya juga harus selama-lamanya diawasi seolah saya seorang Imam. Jika orang-orang sendiri menempatkan diri sebagai Imam, istri dan anak-anaknya juga selalu akan diawasi. Setelah kesulitan akan ada kemudahan. Saya tahu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, tapi apa yang dapat saya lakukan? Hanya saya bilang kepadamu bahwa kamu harus puas dengan kebebasan dari Islam yang kamu akui."
Air mata Fatma mengalir membasahi pipinya. Ia sedot hidungnya dan mulai berteriak lantang, "Coba bilang Bu, siapa yang membiarkan aku menikmati kebebasan yang Islam berikan ke saya? Apakah berdosa bermain dengan boneka? Apakah berdosa main lompat tali? Apakah mereka memberikan kebebasan ini padaku? Jawablah, apakah mereka memberikan kebebasan ini ke padaku? Ibulah satu-satunya yang segera bilang bahwa aku anak seorang Imam jika aku hendak melakukan sesuatu? Berbedakah Tuhannya anak perempuan sorang Imam dengan Tuhan anak-anak perempuan orang lain? Kenapa saya diharapkan bahwa saya diatur menjadi lain? Kenapa? Kenapa...?"
Fatma telungkup menangis di kursi di ruang tamu. Tiba-tiba dia berdiri dan berjalan lurus ke Ibunya dan berkata, "Bilang ke suamimu bahwa dia tidak usah lagi ikut campur dengan kehidupanku. Nanti saya akan pergi dari rumah ini."
Suasana menjadi sepi. Suasana penuh kesedihan mengusai rumah. Dengan kalimat ini menunjukkan Fatma bahwa aturan-aturan yang dibuat orang untuk membuat para remaja lari dari rumah, berhasil. Anak yang mana mau bilang sejak awal bahwa dia mau melarikan diri? Anak-anak pun tidak mengerti apa itu. Sekarang ini anak-anak mengancam orang tuanya dengan minggat.
Fatma mencuci tangannya dan wajahnya dan pergi kembali ke luar. Dia pergi melewati Bapaknya tanpa menoleh. Imam Yakup melihat matanya bahwa dia baru habis menangis. Dia mengerti bahwa putrinya habis bertengkar dengan istrinya. Apa yang telah dia katakan? Imam Yakup menutup dagangannya dan bergegas menemui istrinya. Dengan gugup ia naiki anak tangga. Sewaktu dia masuk dilihatnya isrinya mencuci piring sambil menangis. Dia menjadi mengerti apa yang telah terjadi. Dia buka pintu dapur dan bertanya, "Apa yang telah dia katakan?"
Gűl menjawab tanpa mengangkat kepalanya, "Tidak ada"
"Jangan sengaja merahasiakan. Membuat kesal aja." sanggah Imam Yakup
Setelah beberapa menit berlalu perlahan Gűl membalikkan badannya ke suaminya, "Dia penuh kebencian. Apa sebenarnya yang tidak dia bilang? Dia bilang bahwa kamu jangan ikut campur lagi dengan kehidupannya. Dia ulangi kembali semua apa yang telah dialami selama ini sampai sekarang dan dia menangis. Dia bertanya apakah Tuhannya anaknya seorang Imam berbeda? Dia bilang dia tidak menikmati masa kecilnya."
Imam Yakup tidak tahu apa yang harus dia lakukan atau katakan. Dia lihat sejenak istrinya dan kemudian terjatuh ke lantai.
"Ada bagian-bagian di mana dia benar, tapi dia tidak punya hak untuk menentang Allah. Tidak pernah ada dasar untuk menentang kehendak Allah. Hal ini harus saya jelaskan kepadanya. Saya tahu bahwa orang-orang banyak tidak tahu. Mereka melihat bahwa anak-anak dari para Imam sebagai wujud yang lain."
"Dia bilang bahwa orang lain mengharap bahwa dia bersikap sebagai seorang imam. Dia bilang seperti itu dengan sangat jelas! Kamu tidak akan percaya."
"Saya tahu, Dia sangat pintar dan syetan berada di bagian dia."
"Bolehkah saya katakan padamu? Kita kehilangan putri kita. Tidak perduli apa yang kita lakukan, kita kehilangan anak ini. Pikirannya sibuk dengan banyak macam-macam."
"Itu saya tahu juga. Tetapi di manakah pikirannya sebenarnya?"
"Saya tidak tahu. Saya mempunyai perasaan bahwa dia ingin segala longgar dan berpenampilan tanpa kerudung."
"Kamu pikir tidak bahwa dia jatuh cinta dengan seseorang? Coba selidiki. Saya akan menanyakan kepada anak muda itu kalau dia mau mengawani putriku. Saya juga toh akan menanyakan seorang gadis untuk anak laki-lakiku. Kenapa saya tidak menanyakan seorang pemuda untuk anak gadisku? Cobalah mencari tahu. Asal dia seorang muslim yang baik. Untuk yang lainnya saya tidak masalah. Jika dia seorang muslim yang baik."
Setelah berbicara masalah ini, dia masih merasakan begitu berat beban yang dipikulnya sehingga ingin beristirahat. Dia pergi ke tempat barang dagangannya dan duduk di sana. Dia ingin di sana duduk sampai masuk waktu sholat Dzuhur dan kemudian ingin kewajibannya sebagai imam dijalani sepenuhnya.
Imam Yakup tidak memikirkan dirinya lagi. Yang dipikirkannya bagaimana dia bisa menyelamatkan putrinya. Karena seringnya dia memikirkan ini sampai dia melupakan anak laki-lakinya. Tiba-tiba dia teringat anak laki-lakinya Űsame. Bagaimana situasinya sebenarnya? Apakah anaknya ini hampir menentangnya juga? Pertama yang dia akan lakukan adalah pergi ke sekolahnya untuk berbicara dengan gurunya.
Malam itu Fatma pulang telat. Waktu dia masuk segera dia berkata sebelum orang lain bertanya, "Saya pulang telat karena kami harus kerja lembur."
Fatma beranjak ke kamarnya. Imam Yakup hanya melihatnya sekilas. Dia akan membuntuti anaknya besok. Dia sudah bertekad melakukan itu.
Keesokan harinya dia keluar duluan dari anaknya dan menaiki sebuah taksi dan di dalam taksi itu dia menunggu putrinya. Tak lama kemudian Fatma muncul dengan menyandang tas dan menjinjing tas plastik. Waktu anaknya melewati taksinya, ia segera membungkuk sehingga anaknya tidak dapat melihatnya. Fatma berjalan sampai ke halte bus. Di sana dia berdiri menunggu. Beberapa menit kemudian sebuah mobil berhenti di depan anaknya. Dia penasaran apa yang akan dilakukan anaknya. Anaknya naik ke dalam mobil. Dia merasa tidak percaya apa yang dilihatnya. Dia mulai gemetar dan berkeringat. Sopir taksi tidak mengerti apa yang terjadi dan bertanya, "Kita mau apa?"
Imam Yakup tidak memberikan jawaban. Sopir taksi mengulangi pertanyaannya. Imam Yakup kembali membisu. Sopir taksi memutarkan badannya dan melihat Imam Yakup sedang menangis. Dia mendapat jawaban yang enggan, "Ikuti Renault itu."
"Oke, seperti yang Anda inginkan."
Renault yang dinaiki anaknya melaju menuju Aksaray.
Imam Yakup melihat terus ke arah anaknya. Putrinya melepaskan kerudung dan memasukkannya ke dalam tas yang dibawanya. Dia menyisir rambutnya sambil berbicara dengan laki-laki di sebelahnya. Imam Yakup tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini. Dia berbicara sambil menangis, tapi anaknya tidak mendengarkannya, "Jangan pergi anakku, anakku sayang. Jangan masuk ke perangkap mereka. Kembalilah, tolong jangan pergi. Jangan pergi…. Jangan pergi…."
Imam Yakup menangis dan menangis.…
Dia sudah bertahun-tahun melakukan yang terbaik agar anaknya menjadi seorang muslimah yang baik. Tapi apa yang dia lihat sekarang?
Sekarang dia masih mengerti suatu ayat dari Qur’an dengan baik. Anak-anak dari Nabi Yakub melemparkan adiknya Yusuf ke dalam sumur dengan maksud membunuh adiknya. Namun toh, Nabi Yakub tetap menerima anak-anaknya dan berdo’a kepada Allah agar anak-anaknya mendapatkan jalan yang lurus. Dia sebenarnya tahu apa yang dilakukan anak-anaknya. Dia tahu bahwa mereka melakukan sesuatu terhadap Yusuf dan dia juga tahu bahwa mereka berbohong. Satu-satunya yang ia lakukan adalah berdo’a dan menunggu dengan kesabaran.
Imam Yakup berpikir, "Saya berada dalam posisi yang lebih baik dari Nabi Yakub, karena anakku terlepas dariku setidak-tidaknya bukan disebabkan oleh anakku yang lain. Anakku terlepas dariku disebabkan oleh 'sebuah system'."