De Pasar Malam Besar
Oleh : Abah Jasmijn - Den Haag
Pasar Malam yang dikenal dengan ‘De Pasar Malam Besar’ di Den Haag, setiap tahun diselenggarakan oleh Yayasan Tong-tong. Tong-tong pada awalnya adalah nama majalah khusus bagi orang Indo (Eurasia) dan keturunannya di Belanda, khususnya di Den Haag.
Den Haag adalah konsentrasi domisili orang-orang Indo di Belanda. Tidak salah kiranya kalau kota itu disebut juga ‘Jandanya Hindia’ (De weduwe van Indië). Generasi pertama orang Indo setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah mereka yang memilih ikut program reptariasi dan kemudian para spijtoptantent, yaitu program kembali ke Belanda, ke negeri leluhur yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Jumlah mereka yang pulang ke Belanda waktu itu sekitar 300.000 orang.
Keadaan asing dan baru menyebabkan mereka sulit berasimilasi dengan budaya Belanda karena mereka lahir dan besar di Indië (Indonesia). Seorang Oma Indo mengistilahkan “Londo, kepet!” Kepet dalam bahasa Jawa berarti tidak cebok setelah buang air (besar atau kecil). Di Eropa cebok setelah buang air malah suatu hal yang tidak lazim karena mereka sudah biasa menggunakan tisu (toiletpapier) untuk hajat tadi.
Meskipun hanya sebuah precaution, tetapi ini adalah salah satu contoh betapa sulitnya generasi pertama Indo menerima kultur Belanda, dan tidak jarang mereka anti-totok. Jadi, jangan heran, sampai sekarang pun, kalau bertamu ke rumah orang Indo di Belanda, di WC-nya nyaris selalu ada botol berisi air untuk cebok, dan tersedia pula tisu.
Salah satu faktor mengapa mereka agak sulit berasimilasi dengan budaya Belanda karena mereka ingin mempertahankan identitas ke-Indo-an mereka. Untuk itu mereka memerlukan suatu wadah, apalagi generasi kedua dan ketiga mereka sudah mulai dewasa di Belanda. Maka lahirlah majalah Tong-tong, yang dikembangkan oleh Tjali Robinson, sastrawan kawakan Indo di Den Haag. Kemudian mereka mendirikan Lingkaran Budaya Indo (Indies Cultural Circle). Dan Pasar Malam Besar yang pertama tahun 1959, dimaksudkan sebagai malam penggalangan dana untuk pendirian organisasi tersebut.
Sejak itu, kegiatan tahunan ini terus berkembang, bahkan barangkali di luar perkiraan para pionirnya itu. Pasar Malam Besar di Den Haag kini tidak saja telah menjadi wadah reuni, pertemuan, informasi bagi orang Indo saja, tetapi juga—karena hubungan keluarga, historis, dan emosional—bagi orang Indonesia. Banyak usahawan Indonesia yang datang mengisi stand. Ada pula artis atau kelompok seni Indonesia yang diundang panitia untuk tampil dalam evenement itu. Tidak itu saja. Pasar Malam Besar di Den Haag kini telah berkembang menjadi festival Eurasia yang terbesar di dunia, sekaligus menjadi bagian dari jadwal tahunan pariwisata kota Den Haag. Disamping stand dagang, ‘los lambung’, di arena Pasar Malam juga ditampilkan berbagai seni budaya Indonesia dan Indo, ceramah, diskusi, tampilan tari dan musik, film, bela diri tradisional, dll. Bahkan selain Pasar Malam Besar ini, di berbagai kota di Belanda diadakan pula kegiatan sejenis dalam magnitude yang lebih kecil.
Pasar Malam Besar biasanya diadakan dalam bulan Juni atau dalam musim panas, bertempat di Malieveld, dekat Stasiun Den Haag Centraal. Festival tahun ini berlangsung dari tanggal 8 hingga 19 Juni 2005 dan merupakan Pasar Malam Besar yang ke-47. Beberapa tahun sebelumnya acara tersebut diadakan di arena terbuka, tetapi kemudian Pasar Malam Besar ini diadakan di bawah tenda raksasa yang luas ruangnya mencapai 20.000 m². Tenda raksasa milik De Boer yang terkenal dalam Olimpiade Atlanta itu cukup canggih sehingga suhu dalam tenda bisa diatur. Karena diadakan di musim panas, disediakan pula teras untuk pengunjung yang ingin santai di alam terbuka. Beberapa tahun terakhir, jumlah pengunjung terus meningkat, yang kini rata-rata di atas 100.000 orang.
Setiap tahun Pasar Malam Besar menggunakan tema yang berbeda. Tahun ini bertema ‘Cinta’ (de liefde), dengan harga (dagkaarten): tiket normal € 10,00; tiket normal weekend € 12,50; untuk pengunjung berusia 65 tahun ke atas € 7,50; anak-anak usia 2 sampai 11 tahun €4,50; pelajar dan mahasiswa € 6,50; dan kelompok (minimal 20 orang) € 8,80 per orang. Disamping harga tiket normal, ada pula tiket untuk sepanjang atau separuh acara (12 atau 6 hari) sekaligus, yang harganya tentu lebih murah. Waktu kunjungan antara jam 12.00 dan 23.00, dan pada hari Minggu terakhir antara jam 12.00 dan 22.00.
Kalau dilihat ke belakang, budaya serupa ‘pasar malam’ sebenarnya punya akar pada budaya kolonial Belanda pada zaman penjajahan di Indonesia yang dimotivasi kolonialisme. Misalnya diadakan ‘pasar malam’ setiap awal bulan bagi buruh-buruh kontrak dari Jawa yang bekerja di perkebunan terutama di Sumatera (Deli). Uang upah yang baru mereka terima biasanya ludes dalam acara itu, yang memaksa mereka menandatangani kontrak kerja baru.
Pasar Malam Besar di Den Haag ini dapat dikatakan sebagai kegiatan yang positif, konstruktif—dan tentu saja—ekonomis.
Supported by
Blogger
Blogskins
Free JavaScript from
IKLAN ANDA