Ih, Sudah Besar koq Masih Ngompol?!
Depol, gede-gede ngompol. Begitu lah istilah yang sering diberikan, mengolok-ngolok anak besar yang masih suka ngompol. Orangtua kerap bingung menghadapi permasalahan ini. Bahkan akhirnya orangtua cenderung mengabaikan problema tersebut. Pada sebagian besar kasus, ngompol pada anak memang dapat sembuh dengan sendirinya ketika usia anak mencapai 10 – 15 tahun. Hanya sekira 1 dari 100 anak yang masih tetap ngompol setelah usia 15 tahun. Namun bila dibiarkan, hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh tersendiri bagi anak. Biasanya, anak menjadi tak percaya diri, rendah diri, malu, dan hubungan sosial dengan teman-temannya pun terganggu.
Dalam dunia kedokteran, ngompol atau tidak dapat menahan keluarnya air kencing, dikenal dengan istilah enuresis. Lebih khususnya lagi, ngompol yang terjadi di malam hari ketika tidur biasa disebut nocturnal enuresis. Ngompol masih dianggap normal bila terjadi pada anak balita. Namun, jika seorang anak diatas usia 5 atau 6 tahun masih tetap ngompol setidaknya 2 kali dalam sebulan, maka hal ini perlu mendapat perhatian khusus.
Enuresis sendiri masih digolongkan dalam 2 bagian yaitu primer dan sekunder. Anak yang sejak lahir hingga usia 5 atau 6 tahun masih tetap ngompol, dimasukkan dalam kriteria enuresis primer. Tapi bila si anak pernah ‘kering’ selama setidaknya 6 bulan, lantas mendadak ngompol kembali, berarti anak tersebut dikelompokkan dalam enuresis sekunder.
Enuresis sekunder biasanya terjadi ketika anak tiba-tiba mengalami stress kejiwaan seperti pelecehan seksual, kematian dalam keluarga, kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orangtua atau masalah psikis lainnya. Selain itu kondisi fisik yang terganggu seperti adanya infeksi saluran kencing, kencing manis, susah buang air besar, dan alergi dapat pula menyebabkan enuresis sekunder. Langkah awal yang harus diambil dalam mengatasi enuresis sekunder adalah dengan mengenali perubahan-perubahan mendadak yang terjadi dalam kehidupan anak. Bila anak mengalami stress kejiwaan, tentunya penanganan secara psikologis lebih dibutuhkan oleh si anak. Namun selama orangtua menanganinya dengan penuh pengertian dan kesabaran, biasanya enuresis sekunder akibat stress kejiwaan tak akan berlangsung lama.
Penyebab
Pada umumnya, enuresis primer lebih banyak terjadi daripada enuresis sekunder.
Pada anak normal, ketika kandung kencing sudah penuh oleh air kencing (urine), sistem syaraf di kandung kencingnya akan melapor pada otak. Kemudian, si otak akan mengirim pesan balik ke kandung kencing. Otak akan meminta kandung kencing untuk menahan pengeluaran air kencing, sampai si anak betul-betul sudah siap di toilet. Tetapi pada anak dengan keterlambatan matangnya SSP, proses ini tidak terjadi, sehingga saat kandung kencingnya penuh, anak tidak dapat menahan keluarnya air kencing tersebut.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa enuresis primer bisa terjadi akibat faktor keturunan. Bila kedua orangtua mempunyai riwayat enuresis, maka 77 % kemungkinan anak akan mengalami hal yang sama dengan orangtuanya. Sedangkan jika hanya salah satu orangtua yang pernah mengalami enuresis, maka 44 % kemungkinan anaknya akan terpengaruh. Tapi kalau tidak ada satupun orangtua yang pernah mengalami enuresis, maka kemungkinan anak terkena enuresis hanya 15 % saja. Selain itu penelitian yang dilakukan pada 11 keluarga penderita enuresis telah berhasil mengidentifikasi gen yang diduga menyebabkan enuresis. Gen ini muncul di lokasi kromosom 13.
Enuresis primer yang disebabkan oleh gangguan tidur biasanya terjadi lantaran penderita mengalami tidur yang sangat dalam (deep sleep). Pola tidur penderita pada umumnya normal. Tapi akibat tidur yang sangat dalam tersebut, mereka tidak bisa terbangun ketika ingin buang air kencing. Kelainan anatomi, seperti kecilnya ukuran kandung kencing biasanya jarang ditemukan pada penderita enuresis primer. Kalaupun ada, umumnya disertai dengan gejala-gejala yang juga tampak di siang hari.
Mengenai antidiuretic hormon atau ADH, hormon ini akan menyebabkan tubuh seseorang memproduksi sedikit air kencing di malam hari. Namun pada penderita enuresis primer, tubuhnya tidak dapat membuat ADH dalam jumlah yang mencukupi. Akibatnya, ketika sedang tidur tubuh mereka menghasilkan air kencing yang jumlahnya terlalu banyak.
Diagnosa
Bagaimanakah proses diagnosa pada anak yang mengalami enuresis? Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, biasanya dokter akan bertanya mengenai riwayat kesehatan penderita, seperti keluhan-keluhan yang muncul, penyakit yang diderita sebelumnya, penyakit yang dimiliki oleh keluarga, riwayat alergi, dan obat-obatan yang sedang diminum.
Selain itu dokter akan bertanya tentang pola buang air besar, dan keluhan ketika buang air kencing seperti misalnya kencing tak lampias, atau nyeri ketika kencing. Seringkali, dokter juga bertanya tentang permasalahan yang sedang terjadi di rumah atau di sekolah untuk menentukan tipe enuresis. Setelah riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik dilakukan, pada umumnya dokter akan melakukan tes urine. Kendati hasil pemeriksaan tes urine pada anak yang mengalami enuresis cenderung normal, tapi pemeriksaan itu tetap perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
Penanganan
Dampak secara sosial dan kejiwaan yang ditimbulkan akibat enuresis sungguh mengganggu kehidupan seorang anak. Karena itu, pengobatan terutama bertujuan agar dampak-dampak tersebut bisa lenyap dari kehidupannya. Selain itu pengobatan juga diharapkan dapat menghilangkan peyebab utama enuresis. Penanganan enuresis dibagi dalam 2 katagori: tanpa obat (nonpharmacologic) dan menggunakan obat-obatan (pharmacologic). Obat-obatan hanya diberikan pada anak diatas 7 tahun, itupun dengan catatan, bila penanganan tanpa obat tidak berhasil dilakukan. Catatan sehari-hari (diary) tentang ngompol atau tidaknya si anak juga sangat diperlukan untuk menunjang proses pengobatan.
Pilihan penanganan enuresis tanpa obat bisa dilakukan lewat terapi motivasi (motivational therapy), terapi menggunakan alarm (behaviour modification), latihan untuk menahan keluarnya air kencing (bladder-training exercise), therapi kejiwaan (psychotherapy), therapi melalu makanan (diet therapy) dan hypnotherapi.
Motivational therapy dilakukan dengan memberikan hadiah (reward system) untuk memotivasi anak agar tidak ngompol. Umumnya dipakai kartu dan catatan harian (diary) untuk mencatat hasil yang telah dicapai si anak. Bila dalam 3 hingga 6 bulan, cara ini gagal, maka sebaiknya dipilih metoda lainnya.
Behaviour modification merupakan cara yang memiliki tingkat keberhasilan mencapai 50% hingga 70 %. Sukses ini terutama terjadi pada anak-anak besar yang mimiliki motivasi kuat dan mendapat dukungan penuh dari anggota keluarga. Metoda ini didasarkan pada penggunaan alarm yang ditempelkan di dekat alat kelamin. Bila anak mulai ngompol, alarm akan bergetar atau berbunyi. Kondisi ini menyebabkan anak terbangun dan menghambat pengeluaran air kencing yang telah sedikit keluar. Kemudian orangtua dapat membantu anak untuk melanjutkan buang air kecil di toilet. Hasil yang diperoleh sebaiknya juga dicatat dalam diari dan akan lebih baik bila dikombinasi dengan reward sistem. Perubahan positif dari metoda alarm biasanya mulai terjadi setelah alat digunakan selama 2 minggu atau beberapa bulan.
Bladder Training Exersice biasanya dilakukan pada anak dengan kapasitas kandung kencing yang kecil. Anak diminta untuk menahan keluarnya air kencing selama beberapa waktu.
Hypnotherapy, diet therapy dan psychotherapy belum banyak dilakukan pada anak-anak dengan enuresis primer. Diet therapy sebenarnya bisa juga dijadikan pilihan pada beberapa pasien. Karena, makanan yang mengandung kafein, coklat, serta soda diduga mempunyai pengaruh terhadap terjadinya episode enuresis. Sehingga mengurangi konsumsi makanan yang mengandung zat-zat tersebut dapat mengurangi keluhan pada beberapa anak.
Penanganan anak dengan enuresis memang tidak mudah. Kerjasama antara anak, orangtua dan dokter sangat dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan pengobatan. Tapi setidaknya kasih sayang, kesabaran serta pengertian orangtua untuk tidak memarahi atau menghukum ketika anak ngompol akan membantu membangun kepercayaan diri anak. Perlakuan orangtua yang seperti ini pun akan membantu anak dalam mengatasi masalah sosial dengan teman-temannya.
Pengaruh buruk secara psikologis dan sosial yang menetap akibat ngompol, akan mempengaruhi kualitas hidup anak sebagai seorang manusia dewasa kelak. Karena itu sudah selayaknya bila masalah ini tidak dibiarkan berkepanjangan. (Agnes Tri Harjaningrum, dr.)
Supported by
Blogger
Blogskins
Free JavaScript from
IKLAN ANDA