Bila harus Berhaji Sendiri
Suatu saat Rasulullah Saw pernah menyuruh seorang sahabat yang hendak ikut berperang bersama beliau agar membatalkan rencananya, Mengapa? Karena sahabat tersebut mempunyai istri yang hendak menunaikan ibadah haji. "Temani istrimu berhaji", kata Nabi.
SUBHANALLAH. Perhatian Nabi kepada kaum perempuan sungguh luar biasa. Hatta seorang suami yang hendak berjihad pun diminta mengurungkan niatnya untuk menemani istrinya berhaji. Kewajiban jihad yang fardhu kifayah (kewajiban agama yang bersifat sosial) itu boleh mengalahkan kewajiban berhaji yang fardnu ain (kewajiban agama yang bersifat individual). Begitulah kira-kira logika hukumnya. Perempuan yang menunaikan fardhu a'innya berupa ibadah haji itu perlu jaminan keamanan. Baik selama perjalanan maupun selama menjalani proses ibadah yang melibatkan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Untuk itu suami atau keluarga sedarah yang laki-lakilah yang diminta mendampinginya, dengan harapan, keberadaan mereka akan lebih menjamin keamanan dan ketenangan perempuan dalam menunaikan kewajibannya. Inilah kira-kira alasan dan hikmah mengapa mahram diperlukan untuk jamaah haji perempuan.
Sayangnya, kita sering terbalik memahaminya. Kita mengira bahwa kewajiban berhaji seorang perempuan itu tergantung kemauan sang mahram untuk menemani. Jika sang mahram, suami misalnya kurang mendukung keinginan sang istri yang sudah wajib haji, maka seolah-olah kewajiban sang istri menjadi gugur. Atau yang lebih ironis lagi banyak kaum perempuan yang sampai akhir hayatnya tidak juga menunaikan kewajibannya berhaji karena izin suami tak kunjung turun. Padahal, kalau mengacu pada apa yang dilakukan Nabi di atas, kewajiban haji bagi mereka yang mampu adalah untuk laki-laki dan perempuan. Dan karena menjalankan ibadah haji ini perlu jaminan keamanan, maka suami atau keluarga laki-laki dipilih untuk menjalankan tugas menemani agar kewajiban tersebut ditunaikan dengan baik dan aman. Oleh karena itu, jika karena suatu dan lain hal suami tidak bisa, tidak sepatutnya ia menghalang-halangi istrinya yang sudah wajib haji. Apalagi situasi saat ini sudah berubah. Fungsi perlindungan yang diemban pribadi sang mahram saat ini telah diemban secara kolektif oleh KBIH, biro perjalanan haji, pemerintah RI dan Saudi, perusahaan penerbangan dan berbagai instansi terkait lainnya. Artinya, seandainya seorang perempuan tidak mempunyai mahram atau sang mahram bersikeras tidak mau menemani, ibadah haji insya Allah masih bisa dijalankan dengan baik dan aman. Sebab, saat ini ibadah haji sudah bukan lagi urusan pribadi per pribadi, tetapi sudah menjadi urusan antar lembaga dan antar bangsa.
Masalahnya, bagaimana jika karena alasan tertentu kita harus berhaji tanpa disertai mahram kita. Dari aspek tujuan disyariatkan mahram, dari segi hukum berhaji tanpa mahram tidaklah menjadi masalah. Kalaupun terjadi, biasanya lebih pada soal administrasi keimigrasian di Saudi Arabia yang mengharuskan ada mahram secara definitif, meskipun bukan suami atau saudara. Dan itu, bukan masalah sepanjang kita sudah saling mengenal dan tahu posisi masing-masing.
Yang lebih penting dari itu sesungguhnya adalah kesiapan mental kita sendiri, misalnya siap untuk tidak iri hati pada jamaah yang berpasangan, atau berandai-andai nikmatnya pergi haji berdua. Perasaan ini justru yang menghilangkan nikmatnya ibadah itu sendiri. Padahal jika kita mau sedikit bergeser pandangan, banyak hikmah yang bisa diambil. Kita bisa memperluas tali silaturahini dengan jamaah lain karena tidak terfokus pada satu orang. Kita bisa leluasa beribadah kepada Allah karena waktu kita untuk beribadah sebagai suami istri tidak ada. Kita juga lebih punya banyak peluang untuk berbuat baik kepada jamaah dan orang-orang di sekeliling kita yang baru kita kenal.
Selain siap secara mental, seperti tetap bersyukur dan menikmati perjalanan haji sebagai karunia Allah yang tidak diberikan pada semua orang, sabar, tawakal dan terus berfikir positif terhadap semua yang terjadi, berhaji sendiri juga lebih memerlukan kesiapan pengetahuan. Sebaiknya kita membekali diri tentang berbagai hal. Baik tentang manasik itu sendiri, jadwal dan proses perjalanan, peta wilayah, perlengkapan yang tepat dan efisien, sampai kondisi dan adat masyarakat Arab Saudi serta jamaah mancanegara lain. Ini diperlukan agar dalam menjalankan ibadah haji kita merasa tenang, bahagia dan bisa menikmati setiar proses yang berlangsung.
Sudah saatnya kita tekankan di hati kita masing-masing bahwa berhaji adalah panggilan Allah kepada setiap hambanya, baik laki-laki maupun perempuan. Kadangkala panggilan itu datan kepada sepasang suami istri. Kadang-kadang pada semua anggota keluarga. Namun kadang-kadang hanya datang pada istri saja, atau datang ketika pasangan sudah tiada. Dalam kondisi apapun, panggilan itu datang, selayaknyalah kita sambut dengan sukacita dan bahagia. Sebab, banyak umat Islam yang belum atau tidak mendapatkan kesempatan emas itu. Ada yang mau tapi tidak mampu, ada yang mampu tapi tidak mau, dan ada pula tidak mau dan tidak mampu sekaligus. Beruntunglah kaum perempuan yang hidup di zaman sekarang, tatkala panggilan haji itu datang berbagai kemudahan telah disediakan. Maka songsonglah anugerah yang menghampiri kita, ketika kita harus menyongsongnya sendiri.
(Sumber : NOOR, No.12/TH.II/Desember 2004)
SalaMAA @
6:55 PM