Syukur itu pada satu sisi dapat dijadikan jalan untuk mendapatkan nikmat, tetapi pada sisi lain syukur ini baru kita rasakan setelah mendapatkan nikmat yang merupakan hasil dari keinginan kita. Inilah yang mungkin berbeda antara orang satu dan orang lainnya.
Dikatakan hidup ini pilihan, memang keduanya merupakan tawaran untuk kita pilih. Apa yang lama sekali tidak bisa atau tidak bebas kita pilih adalah konsekuensi dari pilihan itu. Jika kita memilih syukur sebagai jalan, maka al-Qur'an menjelaskan bahwa jalan itu akan membawa kita pada nikmat. Karena kita menempuh jalan syukur maka langkah kita akan sampai ke destinasi yang bernama nikmat, seperti dalam surat Ibrahim:7, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kamu akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih..."
Bagaimana kalau kita balik, maksudnya kita menjadikan nikmat sebagai alasan bersyukur? Sebagai pilihan, ini memang hak kebebasan kita. Namun yang perlu kita waspadai adalah isyarat yang diberikan al-Qur'an tentang kebiasaan manusia yang kurang bisa mengakui nikmat yang ada atau selalu merasa kurang atas nikmat yang diperoleh. Sehingga, kita cenderung menunda untuk bersyukur sampai kita mendapatkan nikmat yang sesuai dengan yang kita inginkan. Dampaknya, kita akan menafikan nikmat-nikmat lain yang kita peroleh dan ini adalah apa yang disebut sikap kufur nikmat.
Konflik Diri
Merujuk pada lanjutan keterangan al-Qur'an dalam surat Ibrahim:7 di atas, gaya hidup kufur ini ternyata akan mendatangkan siksa. Tidak salah memang kalau kita membayangkan bahwa siksa itu akan datang nanti setelah kita meninggal atau setelah hari kiamat. Namun kalau kita lihat dalam praktek hidup, bayangan ini kurang pas. Menurut sunatullah, siksa itu sudah muncul saat kita menjatuhkan pilihan antara memilih jalan hidup syukur dan jalan hidup kufur.
Secara ilmiah, banyak pakar yang sudah mengeluarkan istilah tertentu yang kurang lebih merupakan bentuk siksa dari pilihan kufur. Di antara yang paling riil dapat kita pahami adalah konflik diri. Studi melaporkan temuan bahwa konflik yang terjadi di dalam diri kita bukan karena kita punya atau tidak punya nikmat, tetapi karena kita salah menggunakan lensa pikiran yang oleh al-Qur'an disebut menutup penglihatan pikiran (bashorun).
Bagaimana lensa pikiran ini bekerja? Lensa itu berfungsi untuk melihat sesuatu ke dalam dan keluar. Apa yang dilihatnya akan menjadi bahan kesimpulan yang disebut muatan pikiran. Menurut Aristotles, dari muatan pikiran inilah tindakan, kebiasaan, karakter dan nasib manusia dibentuk. Dr. Denis Wetley mengatakan, nasib kita tidak dibentuk oleh keadaan tetapi oleh pilihan kita. Bukan apa yang terjadi atas kita yang menentukan hidup kita, melainkan apa yang terjadi di dalam diri kitalah yang justru menentukan hidup kita.
Contohnya, bila kita memprogram lensa pikiran hanya untuk melihat hal-hal negatif, maka meskipun jumlah nikmat baik berupa kemampuan dan peluang begitu banyak, tetapi gara-gara lensa negatif itu kesimpulan kita adalah minus. Kesimpulan pikiran akan mencetak keputusan, dan keputusan akan mencetak tindakan. Tindakan akan mencetak balasan. Kalau kesimpulannya minus maka balasan kita pun, apa boleh buat, akan minus.
Studi di bidang karir pun membuktikan bahwa penyebab mengapa sebagian besar orang tidak sanggup mencintai apa yang dikerjakannya atau profesinya, bukanlah karena pekerjaan atau profesi itu sendiri. Tetapi, adanya konflik diri. Andaikan di dalam diri kita tidak ada konflik, karena kita memilih jalan hidup syukur, mensyukuri segala nikmat yang kita peroleh, maka tentunya kita akan selalu berpikiran positif dan mencintai apapun yang kita lakukan.
Zikir &Tafakur
Apa yang membuat kita sesat jalan (salah memilih jalan) seringkali bukan karena kita tidak tahu, tetapi karena kita tidak sadar bahwa kita sedang salah jalan. Studi lapangan yang pernah dilakukan oleh APA (American Psychology Association) terhadap kasus tabrakan di jalan raya juga mengisyaratkan petunjuk serupa. Tabrakan itu Bering terjadi karena kurang kontrol, bukan karena kurang kemampuan.
Kalau bicara praktek hidup, mungkin tak ada orang yang seratus persen dapat mengontrol diri dari detik ke detik, hari ke hari. Tapi Islam telah memberi solusi. Untuk bisa mengontrol diri maka cara yang perlu kita lakukan adalah memperbanyak ingatan (dzikir), dan selalu menyempatkan diri untuk tafakur.
Insya Allah, dengan demikian kalaupun kita lepas kontrol sehingga lalai bersyukur atas nikmat yang kita peroleh, kita akan segera menyadarinya dan segera merubah sikap. Terlebih setelah kita tahu persis bahwa jalan syukur akan mengantarkan kita pada nikmat, sementara jalan kufur akan mengantarkan kita pada siksa.
(Sumber: NOOR no.12/TH.II/ Desember, 2004)
SalaMAA @
2:00 PM