>
Photobucket - Video and Image Hosting
:::Photobucket - Video and Image Hosting Selamat datang di Blog Salamaa :::
Home
About Us
Ceramah
Arsip



SILATURAHMISALAMA




Email salamaa05@yahoo.com
Gabung di Milist Salamaa

novel4

Image hosted by Photobucket.com
Anak Gadis sang Imam
Oleh: Emine Şenlikoğlu
Diterjemahkan oleh: Emaknya Annisa


Menjadi orang tua serta mendidik anak-anak kita adalah salah satu amanah terbesar seorang muslim yang diberikan Allah SWT.

Beberapa hari kemudian Imam Yakup tengah menimang-nimang buku harian putrinya. Dia tengah berpikir apa yang harus dilakukan pada buku tersebut. Haruskah dia membacanya. Tentunya dia tidak dapat melakukannya? Walapun Fatma itu anaknya, dia tidak boleh membacanya tanpa seizin anaknya. Dia merasa tidak bertanggung jawab untuk membalik-balikkan halaman buku harian ini. Agamanya melarang hal ini. Dia kemudian berpikir kenapa anak gadisnya meletakkan buku hariannya di atas meja. Tentu dengan alasan. Anaknya mau bahwa dia membacanya.

Dengan tangan gemetar dibukanya halaman pertama buku harian itu. Dengan tulisan besar tertulis “Tidak seorang pun boleh membaca halaman-halaman ini”. Halaman kedua berisikan hujatan yang ditujukan untuk bapaknya, “Bapak, engkau membuat aku jadi hancur. Engkau menghukum aku dengan menderita dalam satu kehidupan yang ketinggalan zaman. Aku tidak akan memafkanmu”. Di halaman ketiga tertulis mengapa buku harian selalu bersamanya kemudian dia menulis selanjutnya: “Saya sudah dua tahun memakai sepatu yang sama. Bapak sayalah yang menyebabkan saya begini, karena dia ingin menjadi seorang imam. Mode dalam dua tahun sudah empat kali berganti. Saya sudah dua tahun memakai sepatu yang sama. Saya layaknya seorang nenek-nenek tua.

Bapak saya bahagia dengan kehidupannya. Dia biarkan anak-anaknya hidup menderita layaknya penghuni gua, hanya untuk membela beberapa orang yang mengunjungi mesjid. Apakah beberapa orang itu memberi sesuatu kepada bapak saya? Tapi tidak! Mereka tidak pernah bertanya bagaimana keadaannya. Saya ingin bapak suatu kali pergi mengemis. Sehingga kita setidak-tidaknya satu hari akan lebih baik.

Saya tidak suka dengan hidup begini. Atau bapak saya harus berhenti menjadi imam atau saya…. Saya tidak bisa menyelesaikan kalimat ini, saya telah tulis sisanya di hati saya”.

Imam Yakup berlinang airmata. Kesedihannya bertambah-tambah semakin dia terus membaca. Fatma juga menulis satu halaman untuk pemuda yang cacat itu. Dia benar-benar sangat membenci pemuda itu. Buku harian ini sarat dengan kebencian.

Imam Yakup tidak sanggup meneruskan bacaannya. Dia kembalikan buku harian itu ketempat semula di mana dia mengambilnya. Ia mengusap air matanya dan selanjutnya kembali melihat ke lemari bukunya. Ia mengambil secarik kertas dan pencil. Ditulisnya kembali kalimat yang sering datang kepadanya dan menggantungkannya. Dia keluar dari ruangan dan kemudian kembali lagi. Dia baca keras-keras apa yang barusan telah dia tulis, seolah-olah orang lain yang baca….

Setelah beberapa bulan berlalu. Fatma tetap mendesak untuk mempunyai televisi. Bapaknya bilang bahwa dia tidak bisa menahan diri terhadap siaran-siaran tertentu yang berisikan acara yang mengubar nafsu. Oleh karena itu dia tidak mau ada televisi di rumah. Fatma dan ibunya berkata bahwa mereka hanya mengikuti siaran-siaran yang menyiarkan acara yang bukan anti Islam.

Anak gadis mereka sering pergi ke tetangga untuk melihat televisi. Akankah putrinya berubah seandainya ia menyediakan televisi di rumah? Akankah dia berubah? Imam Yakup tidak bisa mengambil keputusan. Dia membicarakan tentang masalah ini dengan temannya Ahmed.

“Katakan, temanku. Bagaimana kita harus bersikap di zaman sekarang ini? Bagaimana kita memberikan anak-anak dunia yang diimpikannya?”

“Kamu benar, tetapi kita tidak punya pilihan. Saya juga banyak melanggar, tetapi akhirnya saya harus menyediakan televisi. Jika saya di rumah, mereka menonton acara yang bernuansa Islam. Begitu saya pergi mereka menonton film-film gila. Kita tidak bisa tidak melanggar. Semuanya sama saja kadang sebagian siaran-siaran tv Islam lebih berbahaya dari siaran tv yang bukan Islam. Saya juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Kamu tidak punya pilihan. Kamu harus menyediakan televisi”, kata Ahmed bingung.

“Mari kita bicarakan bahwa walaupun semua menginginkan saya menyediakan televisi di rumah, bagaimana saya harus membayarnya? Untuk menjenguk ibuku saja saya tidak punya uang sama sekali. Lagi pula, apa yang harus saya katakan kepada orang banyak? Jika seorang imam mempunyai televisi, tentu yang lain juga akan mengikuti?”

“Tidak usah dipikirkan apa yang dikatakan para imam. Setiap orang sudah mempunyai televisi. Siapa di daerah kita yang tidak mempunyai televisi?”

Imam Yakup masih berpikir, susah untuk memiliki televisi.

“ Ahmed, saya ingin film-film itu tidak terlalu mengubar nafsu. Dapatkah saya dengan senang hati memiliki televisi. Jujur saja sebenarnya kadang-kadang saya juga menginginkannya. Saya ingin juga sekali-sekali melihat berita dan acara-acara diskusi. Akan tetapi kalau kita lihat apa semuanya yang ditayangkan kemudian… Rusia sendiri tidak akan mengizinkan acara-acara seperti itu disiarkan. Tetapi yah….”

“Saya ingin bahwa saya dapat melakukan sesuatu. Bertahun-tahun kamu sudah menemukan jalan keluar terhadap masalah kami. Saya ingin sekarang saya bisa menolong kamu”.

Imam Yakup pulang ke rumah lewat tengah malam. Seperti biasanya dia melihat ke tempat sepatu Fatma, sepatunya tidak ada. Dia merasa di sekitarnya berputar, dia bangunkan istrinya dan menanyakan di mana Fatma.

“Dia pergi ke Tante Betűş. Dia bilang bahwa malam ini mau nginap di sana. Dia tanya kepada saya untuk disampaikan kepadamu. Saya sudah bilang bahwa dia tidak boleh pergi, tapi dia tidak mau mendengarkannya”, kata istrinya.

Imam Yakup di sini menjadi marah sekali.

“Ganti bajumu, kita pergi jemput dia”

"Pergilah sendiri, saya mau tidur ?’

“Tidak, tidak bisa. Saya tidak akan pergi tanpa istri ke rumah perempuan yang tidak mempunyai suami. Itu menentang prinsipku. Bangun, kita pergi. Jangan keberatan karena saya menjadi sangat marah”.

“Baik, baik, saya datang. Kalau saya yang begitu, kamu tiba-tiba tegas.”

Setelah beberapa menit kemudian mereka memencet bel rumah Tante Betűş. Setelah beberapa detik kemudian pintu terbuka.

“Ada Fatma?” tanya imam Yakup ketus.

“Ya, dia di sini. Saya pikir lebih baik dia malam ini tidur di sini, kata Tante Betűş setelah melihat Imam Yakup dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

“Tidak, tidak bisa. Dapatkah anda panggil dia?”

Setelah beberapa menit Fatma muncul. Dia sudah berganti pakaian karena dia tahu bapaknya sedang marah.

Di jalan selama pulang tidak ada seorang pun yang berbicara. Di rumah Imam Yakup melihat putrinya dengan tajam dan berkata “Kamu tidak tahu kalau saya tidak membiarkan anak-anakku menginap di rumah orang lain di waktu malam? Jangan biarkan kejadian ini terulang lagi. Saya bilang ini padamu dengan baik-baik, jangan terulang lagi kejadian seperti ini. Jangan salah gunakan maksud baik saya ini”.

Fatma tidak memberi jawaban. Setelah bapaknya selesai berkata. Dia pun berkata tentang sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya dengan yang dibicarakan “Aku bosan. Disebabkan kerudungku aku tidak boleh sekolah. Beri aku izin untuk pergi bekerja. Hari ini saya dengar jauh dari sini ada perusahaan penjahitan pakaian. Dia mencari orang yang mau kerja. Saya juga mendengar bahwa di sana tidak ada laki-laki yang ikut kerja.”.

Imam Yakup berpikir beberapa detik kemudian berkata: “ Oh Anakku sayang, Kamu pikir hanya laki-laki saja yang berbahaya? Sekarang ini banyak orang menderita oleh kesalahan orang lain yang berjenis kelamin sama. Saya tidak tahu orang seperti apa yang bekerja di sana. Saya tidak mengizinkan anakku bekerja di tempat orang yang kita tidak kenal.”

“Memangnya apa yang akan mereka lakukan terhadapku?”

“Mereka dapat membuat kamu menjadi berpikir lain. Mereka dapat membuatmu mempunyai kepercayaan lain. Dan yang paling penting mereka dapat membuat kamu jadi berubah, anakku sayang. Jika mereka adalah orang-orang yang mengambil jarak sangat jauh dari Allah, mereka dapat merubah kamu yang kamu sendiri tidak dapat menebaknya. Saya tentu juga tahu bahwa ada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang-orang baik. Nah, kita akan lihat. Jika di satu perusahaan benar mempekerjakan orang-orang baik, tentu kamu boleh bekerja. Dan jangan pikir bahwa saya melakukan ini karena saya ingin kamu membawa uang ke rumah....”

Dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Hari berikutnya Fatma pergi bersama ibunya ke perusahaan yang telah ia ceritakan itu. Ketika mereka masuk ke dalam, Fatma sedikit melonggarkan kerudungnya dan menarik roknya sedikit ke atas. Dia berbicara dengan seseorang dan membuat perjanjian bahwa ia boleh bekerja di sana. Pada waktu pulang Fatma mengingatkan ibunya: “Dengar bu, ibu jangan bilang bahwa gadis-gadis yang bekerja di sana tidak memakai kerudung. Ibu harus bilang bahwa mereka semua setiap hari sholat, dan bilang juga bahwa yang punya perusahaan itu seorang haji. Ibu mengertikan?”

Mereka berjalan terus dan kadang-kadang Fatma menambahkan lagi perkataannya untuk melengkapi yang sebelumnya.

“Oya, yang juga penting, katakan bahwa mereka tidak menerima kunjungan laki-laki. Ibu tidak pernah tahu apa yang dilakukan suamimu. Mungkin saya menjadi tenang kembali jika saya bekerja di sini”.

“Atau kamu ingin tersesat “, sela ibunya.

“Jangan ngomong seperti bapakku. Ibu mau kan mengatakan seperti apa yang aku bilang?”

“Apakah saya punya pilihan lain? Saya juga tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Di satu sisi saya harus memikirkan kamu di sisi lain memikirkan bapakmu”.

Dengan situasi ini Gűl untuk pertamakalinya berbohong kepada suaminya dan menjelaskan dasar untuk masa depan kehidupan putrinya.

Ketika mereka berjalan melewati mesjid, Fatma melihat pemuda yang cacat itu sedang membaca di balkon. Pemuda itu juga melihat ke mereka dan berkata: “Hai Tante Gűl, apa kabar?”

“Baik, terimakasih. Bagaimana khabar kamu?”

“Kabar saya juga baik, Sedang belajar untuk ujian”.

“Ujian? Ujian apa sih?”

“Ujian untuk masuk ke perguruan tinggi”

“Kamu mau ambil pelajaran apa?”

“Kesehatan”

“Saya harap kamu lulus ya”

“Terimakasih”.

Ketika Fatma dan ibunya hampir sampai di rumah, berkata Fatma: “Ibu dengarkan? Dia mau agar saya dengar bahwa dia ingin kuliah kesehatan”.

“Itukan pikiran kamu. Haruskah dia tidak bilang karena ada kamu?”

“Aku benci dia. Aku menjadi lebih sebal pada setiap kata yang dia bilang. Saya muak dengan suaranya.”


SalaMAA @ 11:59 PM








LINKS
Daftar Makanan Haram
Radio Minaara
Binaurrijal
KZIS
Eramuslim
Kafemuslimah
Republika
Ummi
Fahima-Jepang
Kharisma-Jerman
Masjid ITS




GALERI WORKSHOP

Ito
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called workshop salamaa | delft 2007. Make your own badge here.


Jesty
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called WS Elly. Make your own badge here.

Ferry
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from workshop_salamaa2007. Make your own badge here.

Cuplikan Video Workshop

BERITA CUACA


PREVIOUS POST


borderij

niathijrah

salamaa21

calabacitas

syukur1

novel3

pantangan

ayamsrd

kanker

baik


ARCHIVES
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
April 2008
June 2008
August 2008
September 2008
July 2009
September 2009
January 2010
May 2010
June 2010
July 2010
December 2010

Supported by
Blogger
Blogskins

Free JavaScript from

IKLAN ANDA