novel3
Anak Gadis sang Imam
Oleh: Emine Şenlikoğlu
Diterjemahkan oleh: Emaknya AnnisaKita mengatakan bahwa semuanya hitam atau putih, akan tetapi kita lupa bahwa ada juga bagian yang abu-abu.
Imam Yakup berpikir jauh sekali. Dia mencoba berpikir bagaimana dia bisa mengubah kelakuan anaknya. Tidak terasa butiran-butiran airmatanya jatuh karena sedih.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Fatma? Apa yang dipikirkan anaknya?. Dia tidak bisa menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang datang padanya.
Sampai istrinya masuk ke dalam dia masih tetap jauh berpikir.
“Ini tidak bisa didiamkan, pada dasarnya seorang bapak tidak bisa seperti itu? Kamu bertanggungjawab atas kelakuan anak kita.”
Imam Yakup menatap tajam kedalam mata istrinya tanpa memberikan jawaban. Hal ini membuat Gűl menjadi tambah marah dan mulai berjalan hilir mudik sambil ngedumel.
“Suatu hari nanti kamu akan menyesal tetapi semuanya sudah terjadi”.
“Bisa kamu datang kemari?” kata Imam Yakup murung.
“Bicaralah, saya sudah ada di sini”.
“Kamu bisa bilang apa yang telah saya lakukan?”.
“Kamu memanjakan dia”.
“Bisa kamu kasih contoh?”.
“Kamu terlalu sabar terhadap dia. Kamu tidak berani memukul dia”.
“Apakah dengan sebuah kejahatan bisa membuat orang menjadi baik?. Kamu pikir itu lebih baik untuk memperlakukan orang dengan cara yang buruk? Tidak seorangpun menjadi baik kalau kamu perlakukan dengan cara yang buruk. Simpulkan itu baik-baik di telingamu. Kejahatan dalam arti sebenarnya tidak punya kekuatan. Sepertinya saja punya kekuatan tapi dalam kenyataannya tidak. Jangan sesalkan saya karena saya bersikap sebagai seorang muslim, kamu mau kan, sayangku? Di kepalaku sudah cukup dengan berbagai masalah, saya tidak mau ditambah lagi. Pukulan atau tamparan bukanlah suatu jalan keluar. Saya dapat yakini kamu bahwa paksaan bukanlah suatu pilihan”.
Gűl bersikap seolah suaminya berkata benar kemudian dia pergi ke kamar tidur tanpa mengatakan sesuatu. Imam Yakup mulai berjalan mondar mandir didalam rumah. Dia tidak bisa memikirkan jalan keluarnya. Dia melihat ke lemari bukunya, timbul keinginan membaca sesuatu tapi tidak tahu apa. Hatinya terlalu galau untuk membaca buku.
Imam Yakup kemudian mengenakan jas winternya dan berjalan ke luar. Dia berencana ingin berjalan sampai ke Masjid Fatih dan kemudian kembali. Dia ingin sendirian, berjalan menyusuri jalan-jalan yang gelap. Salju mulai turun, Imam Yakup berjalan sampai di ujung jalan dan otaknya mulai kembali berpikir, “Seandainya saya satu di antara kepingan-kepingan kecil salju ini, ingin rasanya jatuh ke bumi dan kemudian menghilang”. Ia menyadari bahwa pikirannya ini menentang kehendak Allah dan ia segera berkata: “Astagfirullah, oh Astagfirullah...”.
Ia melanjutkan jalannya selangkah demi selangkah. Kadang-kadang dipungutnya salju kemudian dibuatnya bola salju dalam genggamannya. Dia lihat sekelilingnya untuk meyakinkan bahwa tidak ada orang yang melihat tingkahnya kemudian melempar bola salju sejauh mungkin.
Ia tidak dapat menjelaskan kelakuannya itu. Kenapa dia tidak mau orang lain melihat kelakuannya melempar bola salju tsb? Kenapa dia berbuat seperti itu dan merasa yang dilakukan itu salah? Ia mulai memperlambat jalannya dan mulai memikirkan perbuatannya.
“Ya Yakup, jawablah. Kenapa kamu merasa perbuatanmu itu seolah-olah kesalahan besar? Kamu tidak tahu lagi mana yang salah dan mana yang tidak salah? Atau kamu sendiri sedang memikirkan kesalahan-kesalahan?”
Ia tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya sendiri, tapi dia tahu benar bahwa dia tidak ingin membuat kesalahan-kesalahan. Dia mulai berjalan lagi sambil merenungkan.
Di bagian lain dari jalan dia melihat anak laki-lakinya Űsame sedang berjalan ke arahnya. Dia ingat kembali bahwa ia menyuruh anaknya pergi menjenguk ibunya yang sedang sakit. Dia memberi salam ke anaknya dan berkata: “Bagaimana kabar ibuku?”
“Kabarnya baik, bapak dapat salam dari dia. Dia bilang bahwa dia sangat rindu kepada bapak dan bertanya kenapa bapak sudah sepuluh hari tidak menguinjunginya”, kata Űsame sambil menggosok-gosok kedua tangannya karena dingin.
Imam Yakup lama tidak memberikan jawaban kemudian mereka bersama-sama berjalan pulang ke rumah.
“Kemudian kamu bilang apa?” tanya Imam Yakup.
“Saya bilang bahwa bapak juga akan mengunjunginya dan selalu ingat dia”.
“Dan apa katanya?”
“ Dia bilang bahwa dia lebih senang bapak sekali mengunjunginya dari pada sepuluh kali memikirkan dia”.
Ini membuat Imam Yakup sangat pedih. Dia menjawab secara diam-diam: “Ibuku benar, tapi dia tidak tahu keadaan saya saat ini”.
Űsame sudah berumur empat belas tahun dan sangat pintar. Dia bertanya ingin tahu:
”Ada apa sebenarnya, pak? Jujur saja saya juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi”
Akankah dia bilang pada anaknya atau akankah dia tanggung sendiri masalah ini?
“Maukah bapak mengatakannya kepada saya?” Tanya Űsame lagi.
“Saya tidak tahu. Apakah kamu pikir, kamu sudah cukup besar?”
“Tentu, pak. Saya hampir dewasa. Saya bisa mengerti semuanya”. Sahut Űsame sambil melambaikan kedua tangannya.
“Baiklah, saya tidak punya uang untuk bayar ongkos kendaraan. Saya juga tidak semuda kamu lagi untuk dapat menempuh perjalanan sejauh sepuluh kilometer”.
Űsame menjadi sedih mendengarnya.
“Lihat, pak. Inilah alasannya kenapa saya tidak mau menjadi imam sebagai mata pencaharian”.
“Tapi anakku, kamu tidak mau jadi imam? Kamu mau Islam terhina, karena kamu tidak mau menjadi terhina?
“Jangan salah mengerti. Saya mau menjadi imam tapi bukan sebagai pekerjaan tempatku bergantung, saya mau melakukannya sebagai pekerja sukarela. Bapak juga yang dulu pernah bilang bahwa tidak seorang pun dapat menghinakan Islam, tapi orang-orang yang tidak mau melakukan tugasnya, dialah yang terhina?”
“Ya, seperti itulah. Tapi tiap pernyataan punya satu alasan. Imam adalah suatu pekerjaan yang indah. Tentu saja banyak imam yang tidak menyadari siapa mereka, tetapi menurut Islam itu adalah suatu pekerjaan yang mulia.”
“Tetapi bapak lihat sajalah. Penghasilannya sangat sedikit. Sementara orang berenang dengan uang, bapak sendiri tidak mendapatkan uang untuk menjenguk nenek.”
“Saya tahu itu memang situasi yang buruk. Kita harus mengerjakan sesuatu untuk menghentikan situasi yang buruk ini dan bukan berhenti sebagai imam dikarenakan situasinya yang buruk”.
“Apa yang dibilang nenek lagi? Dia bercerita tentang masa kecil bapak”. Űsame melanjutkan.
Ini menurut Imam Yakup menyenangkan. Dia sudah tersenyum dulu apa yang akan dikatakan ibunya.
“Nenek bercerita semuanya. Suatu kali bapak dan teman-teman bapak sedang bermain. Bapak menjadi sebagai imam dan mereka sebagai pengikut-pengikut. Bapak berdiri di depan mereka. Sekali waktu bapak memberikan khotbah dan berkata bahwa mereka harus membeli sebuah sepeda untuk anak-anak mereka. Bapak mengatakan itu karena bapak sangat senang bersepeda. Nenek sampai tertawa terbahak-bahak”.
Berbincang dengan anak laki-lakinya membuat ia sedikit terhibur. Dia bisa melupakan sejenak masalahnya dengan Fatma. Dia melihat ke arah jam tangannya. Sepuluh menit lagi sholat akan dimulai. Dia mulai berjalan lebih cepat lagi.
Ketika sampai di mesjid dilihatnya temannya Ahmed. Dia merasa senang ketemu lagi dengan temannya itu, karena dia sudah lama tidak melihatnya.
“Selamat datang Ahmed, kemana saja kamu selama ini?”
“Saya pulang ke kampung saya, di sana saya banyak membaca. Saya belajar dengan seorang imam di kampung dan kadang-kadang saya pergi berburu. Sekarang saya kembali lagi”.
“Wah menarik, setelah sholat nanti kita cerita lagi”.
Setelah sholat mereka bercerita tentang kejadian yang terakhir. Imam Yakup ingin menceritakan tentang Fatma kepada temannya, tapi dia tidak dapat memulainya.
Ketika Imam Yakup kembali ke rumah, dia melihat sepatu Fatma. Dia sudah pulang, lampu di kamarnya masih menyala. Imam Yakup berdiri sebentar di depan pintu kamar anaknya. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia berbicara dengan putrinya? Haruskah dia menanyakan kenapa anaknya begitu penuh kebencian? Tak tahulah, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia membalikkan badannya dengan diam-diam dan berjalan menuju kamar tidurnya.
Bersambung...
SalaMAA @
6:33 PM