>
Photobucket - Video and Image Hosting
:::Photobucket - Video and Image Hosting Selamat datang di Blog Salamaa :::
Home
About Us
Ceramah
Arsip



SILATURAHMISALAMA




Email salamaa05@yahoo.com
Gabung di Milist Salamaa

tehenni

Image hosted by Photobucket.com
Menggapai Cahaya ILlahi (bag. 2 - habis)
Oleh : Ibu Enni - Blaricum


Mendung membayangi kehidupanku..

Setelah bercerai saya sering mendapat surat kaleng(surat tanpa alamat), telepon gelap dan surat-surat ancaman yang berisi awas elu kita perkosa rame-rame, anak elu gue culik, dan lain-lain isinya. Pada tanggal 28 Oktober 1985 rumah saya dibongkar habis-habisan, pada malam itu ibu saya sedang menginap di rumah saya dan saking kangen saya mengajak ibu saya untuk tidur bersama saya dan anak saya. Entah mengapa pada malam itu saya mengunci kamar dari dalam yang biasanya tidak pernah saya lakukan. Pagi-pagi sekali pintu kamar saya digedor-gedor oleh pembantu saya, saya dan ibu saya bangun, kami dikagetkan dengan porak poranda di dalam dan di luar rumah. Barang-barang berharga ludes pelakunya masih sempat meninggalkan surat khusus ditujukan untuk saya, isinya berbunyi "kali ini elu masih untung, lain kali nyawa elu yang hilang".


Hubungan saya dengan bekas suami hanya sebatas demi anak sebulan sekali bekas suami saya menengok anak kami. Biaya? Ah....ngana (kamu bahasa Minahasa)banyak duit, gaji ngana besar. Dus, ya sudah saya tidak pernah mendapat biaya apapun setelah saya bercerai. Bekas suami saya bahkan juga mengancam bila saya menikah lagi apalagi bila menikah dengan Orang Asing, maka anak kami pengasuhannya akan diambil-alih oleh bekas suami saya. Saya bisa membayar pengacara termahal untuk mengalahkan kamu, hukum bisa dibeli, Apa sih yang tidak bisa dibeli di Indonesia? Begitulah ucapan-ucapan sombong dari bekas suami saya.


Karena saya lelah dengan serangan dari kiri kanan, masyarakat yang tidak menerima kehadiran diri saya sebagai seorang janda bekas isteri kedua. Kemudian saya juga jarang berada di rumah, maklum tugas-tugas pekerjaan saya sebagai Tour Leader hari ini di Jakarta besok lusa di Bali atau seminggu di Australia, atau pulang ke rumah pada dini hari. Akhirnya saya mempunyai keinginan untuk pergi jauh meninggalkan Indonesia, memulai kehidupan baru membangun masa depan untuk anak saya. Melalui sebuah organisasi Internasional , saya diperkenalkan dengan pria-pria singel (umumnya non- Muslim) yang mencari calon-calon isteri wanita Indonesia. Dari sekian banyak calon, saya memilih seorang pria WNA Belanda (saya sebut saja GZ) berdasarkan dari video orangnya simpatiek dan lain-lain dan lain-lain.

Setelah beberapa bulan berhubungan secara surat menyurat, telepon antar benua saling berkirim hadiah akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Tanpa sepengetahuan bekas suami, saya jual rumah gono-gini, mobil, deposito di bank atas nama saya sendiri, saya ambil. Dengan mempergunakan visa turis, saya dan anak laki-laki saya menuju Negeri Belanda tepatnya pada tanggal 29 Juni 1986.

Menuju kegelapan.

30 Juni 1986 kami tiba di Amsterdam, di Schiphol kami dijemput oleh GZ lengkap dengan anggota keluarganya. Kesan pertamaku begitu bertemu muka dengannya adalah pria angkuh, show-off atau tukang pamer dalam berbusana (ini persis sama dengan bekas suami saya di Indonesia). Kami langsung di bawa ke Hilversum, begitu kami memasuki rumah anak saya langsung dikunci di dalam kamar dan saya ditodong dengan pistol. Saya dipaksa untuk menyerahkan barang-barang berharga, perhiasan yang saya kenakan diambil juga passport, tiket serta kofer-kofer saya diambil semuanya. Dia berteriak dalam bahasa Belanda yang kasar kepada saya, mengancam akan membunuh anak saya bila saya mengambil tindakan yang bodoh.

Mulai pada saat itu saya sering dihajar habis-habisan, saya dipaksa untuk melayani kebutuhan sex secara biadab, kapan saja dimana saja. Bila saya menjerit karena menahan sakit, dia tertawa terbahak-bahak. Dia sering mempergunakan scherp en vreemde voorwerpen, arti bebasnya alat-alat aneh dan tajam yang dimasukkan ke alat organ wanita saya. Bila dia pergi ke luar rumah kami dikunci dari luar, di dalam rumah tidak ada televisi apalagi telepon. Makan di beri seadanya, saya sering memberikan bagian makanan saya untuk anak saya, maklumlah pada saat itu anak saya sering mengatakan saya masih lapar mama. Bila saya tidak dapat memejamkan mata dikarenakan berpikir terlalu banyak, maka saya hanya dapat mengatakan pada diri sendiri seandainya Tuhan itu ada mengapa harus memberi penderitaan terus menerus kepada diri saya. Saya juga tidak bisa menangis lagi bila saya disiksa secara pisik, hal itu justru yang membuat GZ menjadi geram. Setelah beberapa minggu kami di keram di dalam rumah terus, akhirnya kami diajak ke luar untuk diperkenalkan dengan beberapa kenalan-kenalannya. Dari beberapa kenalannya ada seorang kenalan prianya yang mencoba lebih banyak bercakap-cakap dengan saya, misalnya menanyakan tentang Indonesia , tentang mengapa meninggalkan Indonesia dan lain-lain. Kenalan ini bahkan mengingatkan kepada saya bahwa sebaiknya saya mencoba meninggalkan GZ bila memungkinkan melapor kepada polisi. Saya katakan bagaimana mungkin bila saya tidak mempunyai dokumen-dokumen identitas diri, saya jelaskan bahwa passport dan tiket untuk pulang telah dirampas oleh kenalannya. Dia mengatakan akan membantu saya dan anak saya bila saya berhasil mendapatkan passport dan dia bersedia untuk membantu kepulangan ke Indonesia.

Pada malam itu tepatnya dua puluh satu hari saya dan anak saya berada di dalam cengkeraman GZ di Hilversum, pada saat itu GZ sedang tertidur akibat mabuk-mabukan setelah menghabiskan beberapa buah botol alkohol.( GZ adalah seorang alkoholis). Malam itu anak saya juga terlelap tidur, saya berjingkat-jingkat mencari passport dan tiket untuk pulang ke Indonesia. Saya mencari pada setiap laci-laci, di dalam lemari pakaian, gudang di basement tetapi tetap tidak saya ketemukan. Di sudut kamar saya lihat ada kofer kecil tetapi terkunci, setelah saya coba dengan nomor kelahriannya akhirnya kofer terbuka isinya hanya passport saya belaka. Saya ambil passport tersebut lalu saya sembunyikan di dalam celana dalam saya, lalu saya mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah tersebut. Pagi-pagi sekali saya bangunkan anak saya, saya kenakan pakaian anak saya secepatnya lalu berjingkat-jingkat pergi menuju kearah pintu keluar. Di ruang tengah ternyata GZ sudah bangun dan kaget melihat saya dan anak saya bersiap-siap untuk pergi ke luar, dia menghadang saya. Saya tegakan tubuh saya dan saya katakan dengan kata-kata tegas bahwa saya tidak akan membuat keributan apa-apa asalkan dia membiarkan saya pergi, saya katakan bahwa saya akan ke Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag. GZ tertawa terbahak-bahak dan meludahi muka saya, dia mengatakan “jij ben niks waard en je heb niks geen passport en geen tiket, dus godverdomme (maafkan bila saya menulis kata-kata ini) wegwezen jullie”. Dus, saya dengan anak saya meninggalkan rumah GZ menuju stasiun kereta-api dengan berjalan kaki kurang lebih 20 menit.

Saya menemukan uang sebanyak 75 gulden di laci dapur, dengan uang tersebut saya membeli tiket kereta api Hilversum-Utrecht sebesar 25 gulden. Dalam benak saya entahlah cukup atau tidak ongkos untuk ke Den Haag, bagaimana nanti saja yang penting saya lepas dari GZ. Sewaktu di stasiun Utrecht anak saya Peter mengatakan mama masih ingat tidak oom Paul, diakan orangnya baik suka memberi roti dan permen coklat pada saya. Rupanya anak saya masih ingat kenalan GZ yang bersedia akan membantu kami bila kami mempunyai kesempatan menemukan passport dan akan membantu kepulangan kami ke Indonesia. Saya berpikir pada saat itu ada benarnya juga kata-kata anak saya, juga saya terbayang dari mana ongkos pulang ke Indonesia karena tiket untuk pulang sudah tidak ada. Bagaimana reaksi dari keluarga saya bila saya dan anak saya kembali? Terutama muka saya akan saya taruh di mana? Ah…banyak pikiran yang berkecamuk pada saat itu.

Saya katakan kepada anak saya, okey Peter kita akan ke rumahnya oom Paul tetapi harus menunggu beberapa saat lagi agar kita tidak bertemu lagi dengan mijneer GZ. Anak saya bilang terserah mama saja yang penting kita selalu bersama terus ya mama.. Saya peluk erat-erat anak saya, saya ciumi pipi putihnya hingga akhirnya kami saling bertangisan di stasiun Utrecht tersebut. Pada saat saya itu bersumpah Demi Yang Maha Tinggi, akan kulakukan jalan dengan cara apapun untuk membesarkan anak saya dan memberi masa depan yang sebaik-baiknya. Dan saya juga berjanji tidak akan menangis dihadapan siapapun apalagi di depan anak saya satu-satunya ini, saya akan bersikap tegar, keras, disiplin yang membaja dan berjuang demi masa depan anak saya.

Kami kembali ke Hilversum, setelah bertanya kesana-kemari akhirnya kami temukan tempat tinggal oom Paul sebutan dari anak saya. Saya perkenalkan pria ini lengkapnya Paul Arie Anthonie van Moorsel dialah yang telah membantu saya dan anak saya untuk menetap di Belanda, tetapi justru saya yang mengajak menikah dengannya. Setelah saya menetap beberapa minggu di tempat kediamannya, mengingat visa saya hampir habis, lalu saya tidak ingin kembali pulang ke Indonesia, saya bertanya kepadanya “will you marry with me?”Saya menyadari dengan sepenuhnya bahwa dasar-dasar cinta tidak ada di antara kita, toch saya akan berusaha membahagiakanmu dengan semampu saya. Kata-kata itulah saya katakan kepada Paul sebelum kami menikah, apakah itu merupakan ikrar dari diri saya?

Kami menikah pada tanggal 15 September 1986 di gemeente Hilversum. Kami menikah dengan penuh kesulitan, misalnya Kedutaan Besar Indonesia tidak ingin menolong karena lebih mempercayai atas laporan-laporan GZ yang melaporkan bahwa saya di ambil dan di jemput dari Indonesia oleh GZ. Kemudian GZ juga melaporkan ke Vreemdeling dienst bahwa saya dengan susah payah telah dijemput dari Indonesia, setelah berada di Belanda tepatnya di Hilversum sayalah yang kabur dengan pria lain. Saya didatangi oleh team khusus Vreemdeling dienst untuk di deportasi ke Indonesia, untunglah saudara-saudara dari keluarga yang menolong saya mempunyai kedudukan yang lumayan di masyarakat seperti misalnya seorang commisaris polisi dan juga perkumpulan gereja Katholik di Hilversum mempertahankan saya dan anak saya untuk menetap di Belanda. Kami menikah dan dengan demikian saya berhak untuk menetap di Belanda, saya lagi-lagi tidak menceriterakan secara mendetail kepada keluarga di Indonesia. Buat saya betapa sesulit apapun penderitaan yang saya alami, cukuplah untuk diri saya sendiri yang mengalami dan mengetahuinya.

Pada tanggal 5 Maret 1987 saya dibaptis menjadi pemeluk Agama Katholik Roma., dipermandikan di gereja Sint Vitus di bawah pimpinan Pastoor Cornelieus Simoneus. Apakah saya di bawah tekanan atau pengaruh dari orang lain? Jawabnya tidak, itu adalah atas pilihan diri saya sendiri. Suami saya tidak beragama Katholik bahkan suami saya beserta seluruh anggota keluarganya telah dikeluarkan dari keanggotaan Gereja Aposthelis, dikarenakan jarang mengunjungi gereja. Dus, agama untuk suami saya tidak mempunyai arti apa-apa Bila merayakan Hari Natal itu dikarenakan sebagai suatu tradisi, begitulah adanya.

Membangun masa depan dan kehidupan baruku di Negeri Belanda.

Setelah saya menikah, saya mengambil pendidikan mode. Di Negeri Belanda kita bisa mengambil beroep- opleidingen, ada tingkat menengah atau tingkat hoge school artinya tingkat akademi begitu, Saya mengambil program diploma setahun, saya selesaikan dalam tempo 4 bulan. Atau bila memungkinkan ingin lebih cepat asalkan modul-modulnya telah terpenuhi lalu memenuhi ketentuan dan persyaratan, ujian bisa dilakukan dengan persetujuan commisie. Dengan semangat belajar serta disiplin yang tinggi saya raih diploma-diploma dari berbagai macam vaardigheden pada bidang mode dan tekstil. Tekstil brevet saya raih misalnya dalam waktu 6 bulan, umumnya di sini diselesaikan dalam waktu 2 tahun. Pendidikan sebagai perancang mode saya selesaikan juga dalam waktu 6 bulan, saya menekankan pada diri saya sendiri bahwa alles mogelijk.

Pengalaman saya akhirnya macam-macam, perancang mode, memiliki sekolah mode sendiri, home decorator dan motivator serta memberi coaching pada pegawai-pegawai baru pada Internasiomal mode concern.. Menurut anak saya Peter, saya terlalu berambisi dan saya terlalu keras pada diri sendiri serta tidak mengenal istilah relaks. Saya katakan pada anak saya selama saya sehat itu berarti tidak ada yang perlu dikuatirkan, lain lagi menurut suami saya yang menyebut saya seorang super eigenwijs. Kadang-kadang suami saya bercanda misalnya dia sekali-sekali ingin melihat saya menangis, saya jawab tidak ada alasan untuk menangis. Ketika ayah saya meninggal dunia dan telegramnya tiba seminggu kemudian, pada saat itu saya sedang menghadapi dua macam ujian manajemen mode dan home decorator, saya terima dengan perasaan yang kosong. Mengapa bapak meninggal sekarang? Hanya pertanyaan itu yang terlintas pada benak saya. Padahal bapak dan ema (sebutan saya untuk ibunda tercinta) beberapa bulan lagi akan berkunjung ke Negeri Belanda. Bahkan saya telah membuat mantel-mantel dan pakaian-pakaian lainnya untuk orang-tua saya, yang rencananya akan saya kirimkan ke Indonesia. Begitulah, ayah saya belum pernah melihat kehidupan saya sekeluarga di Belanda sini. Hanya ibu dan adik saya yang pernah berkunjung dan melihat bagaimana kehidupan sehari-hari saya di sini..

Musibah datang silih berganti.

Kerinduan saya akan Indonesia begitu kuat, hingga setelah menetap selama 10 tahun di Belanda akhirnya saya mohon kepada suami dan anak saya untuk menetap di Indonesia. Saya pergi sendirian ke Indonesia, tujuannya untuk mempersiapkan apa-apa saja yang harus kami penuhi bila ingin menetap di Indonesia. Setelah bermusyawarah dengan anggota keluarga saya di Cimahi, saya mendapat saran sebaiknya kami(saya dan suami) sebagai tenaga akhli dari Belanda di datangkan oleh perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Dus, adik-adik saya mendirikan perusahaan yang permodalan dan asset perusahaan nota-bene bersumber dari saya dan suami. Tentunya, dalam akte perusahaan tidak dicantumkan secara jelas hal sumber permodalan tersebut, yang penting perusahaan tersebut adalah jembatan kami untuk menetap di Indonesia.

Pada tanggal 30 Juni 1996 kami meninggalkan Negeri Belanda, bekal kami cukup besar nilainya pada saat itu. Semua hasil dari penjualan harta benda dan uang simpanan selama lebih kurang sepuluh tahun kami tabung bersama-sama. Kami mengontrak rumah di Cimahi, status kami sebagai WNA boleh dikatakan cukup sulit dan biaya KITAS cukup mahal. Pengurusan di Imigrasi yang birokrasi dan kolusi yang waduh ampun kebangetan begitu, kami ditipu oleh oknum Imigrasi di Bandung. Biaya KITAS 10.000 US dollar per-orang per-tahun. Pajak sebagai WNA 100 US dollar per-orang per-bulan, bayar di muka. Dalam pengurusan izin pengikuti pendidikan di Indonesia yang harus kami urus pada DEPDIKBUD di Jakarta, kami diminta oleh seorang pejabat sebesar 5000 US dollar. Ohya, saya mendapat saran dari pejabat tersebut sebaiknya anak saya yang nota-bene anak kandung dari seorang WNI yang rupanya nama bekas suami saya masih beken di Jakarta, sebaiknya dilampiri surat pengakuan dari ayah kandungnya yang menyatakan tidak keberaratan mengikuti sistim pendidikan di Indonesia.

Semula anak saya akan disekolahkan di BIS (Bandung International School) biayanya ? Mrs. van Moorsel it’s only 20.000US dollar per-year. You don’t have problem about it, don’t you? Well, problemnya gede banget. Kofer-kofer yang saya bawa dari Belanda isinya memangnya dollar melulu? Lagian biar suami orang bule memangnya kaya-kaya? Dus, anak saya melanjutkan pendidikan di SMU Santa Maria. Anak saya bilang, cara cepat dan singkat untuk belajar bahasa Indonesia. Saya bersyukur, anak saya juga diberi kemudahan dalam mempelajari serta menguasai bahasa Asing. Pada saat ini bahasa yang dikuasainya selain bahasa Belanda, Inggeris, Jerman juga bahasa Indonesia dan Jepang.

Kehidupan sehari-hari di Indonesia ternyata tidak semudah yang saya bayangkan, ternyata culture-schock pada anak dan suami juga tidak terhindarkan. Kemudian perusahaan yang kami kelola bersama-sama adik saya juga sangat jauh dari jangkauan peningkatannya. Kami telah berusaha hidup secara erg zuinig artinya mengirit, tidak mempunyai kendaraan, pembantu apalagi tukang kebun. Kami sering diolok-olok oleh ekspatriat-ekspatriat kenalan kami yang menetap di Bandung, tentu saja mereka misinya berbeda dengan kami. Setelah hampir dua tahun menetap di Indonesia, suami saya lebih dulu pulang ke Belanda. Pada tanggal 5 Januari 1998 saya dan anak saya menyusul dan kami kembali ke Belanda dengan tangan hampa. Uang habis bahkan tiket kepulangan saya dan anak saya ke Belanda, kami terima dari adik ipar suami saya.

Kami kembali menetap di Belanda, setelah selama tiga bulan menumpang di rumah kakak ipar, kami akhirnya dapat menyewa rumah pada vrij-sector dengan biaya sewa sebesar 800 Euro per-bulan. Saya bekerja full-time sebagai home-decorator dan di rumah menerima pesanan-pesanan jahitan dan membuat baju pengantin atau apa saja yang penting mendapat pemasukan uang untuk biaya kehidupan sehari-hari. Suami? Menganggur. Suami sering menyalahkan saya katanya gara-gara sayalah kehidupan kami menjadi sulit. Anak saya kembali dari Indonesia jatuh sakit, penyakit TBC. Setelah dirawat berbulan-bulan di AMC Ziekenhuis di Amsterdam, kemudian berobat jalan tepatnya setelah dua tahun paru-parunya dinyatakan bersih.

Saya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak saya ke perguruan tinggi, anak saya mengikuti pendidikan pada Koninkelijk Landmacht, akhirnya anak saya menjadi anggota militer pada pasukan khusus korps komando, pangkatnya pada saat ini Sersan Satu.

Diri saya diberi peringatan oleh Illahi.

Pada awal tahun 2004 saya yang semula tidak pernah sakit tiba-tiba mendapat penyakit lemah jantung, acuut-rheuma dan bronchitis chroonist. Sering pada seluruh tubuh saya biru-biru, bila saya sentuh sakit sekali. Bila cuaca mulai dingin apalagi pada musim winter, maka buku-buku pergelangan kaki juga jari-jari saya bengkak-bengkak . Di Belanda sini memang banyak yang menderita penyakit rheuma, tetapi umumnya untuk orang yang telah berlanjut usia. Kemudian saya sering mengalami pendarahan , hasil pemeriksaan dan foto pada rahim ternyata baarmoeder (rahim) saya rusak. Terus terang pembaca, telah bertahun-tahun saya tidak mampu melayani kebutuhan suami. Hingga sejauh ini suami saya tidak pernah menuntut apa-apa, menurutnya sex tidak berarti segala-galanya dalam pernikahan kami selama ini.

Setelah mengidap berbagai penyakit, keimanan saya sebagai penganut Katholik mulai goyah. Rutinitas sebagaimana layaknya umat Katholik memang tetap saya laksanakan, hanya selalu saya rasakan keguncangan dalam hati saya. Pada malam hari sebelum tidur selalu saya sembahyang rosario, tetapi kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan saya tentang pengakuan dosa yang sering saya lakukan melalui Pastoor. Apa diterima? Kemudian, benarkah Tuhan Yesus anak Bapa di surga dan Roh Kudus, yang disalib untuk membebaskan dosa umat manusia? Pertanyaan-pertanyaan saya berkecamuk, saya gelisah bahkan saya sering panik tanpa alasan. Hingga terjadilah kejadian-kejadian yang aneh-aneh, yang saya alami bertubi-tubi.

Pada malam hari saya terbangun dari tidur, saya melihat disebelah kiri tubuh saya terbaring (seseorang?) dibalut kain putih (kafan?). Sedang tidur lelap, saya merasa dibangunkan oleh almarhum ayah saya yang memohon agar saya kembali pada Islam atau lain waktu beliau mengajak saya untuk berjamaah shalat. Kemudian saya bermimpi yang mana di dalam mimpi saya melihat diri saya mengenakan mukena dan sedang mengerjakan shalat. Adakalanya saya bermimpi diri saya sedang mengaji, membaca Surat Yassin. Saya terbangun, tanpa saya sadari saya berseru Allahu Akbar berkali-kali. Atau saya beristigfar. Atau saya terbangun dan mengucap Laa Illaha Illallah…berkali-kali, padahal bertahun-tahun saya telah melupakan kalimat-kalimat tersebut.

Saya kembali memeluk Agama Islam

Meskipun secara finansial tidak memungkinkan untuk berlibur ke Indonesia, saya berangkat sendirian dan keinginan saya telah bulat yaitu saya ingin diIslamkan kembali. Saya tinggal di Cimahi, kepada ibunda saya mohon ampun sebesar-besarnya, saya meminta kepada ibu saya bagaimana caranya untuk kembali menjadi umat Islam. Alhamdullillah, tepatnya pada tanggal 23 September 2005 (apakah itu kebetulan? Ibu saya pada hari itu tepat berulang tahun ke 70) saya mengucap syahadatin “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT”.

Shalat pertama kali saya kerjakan dengan berjamaah dengan ibunda saya, ketika ibu saya menanyakan masih ingat tidak do’a-do’a shalat? Insya Allah jawab saya. Allahu Akbar, semua do’a-do’a shalat kembali memasuki kepala saya. Yaa Allah Yaa Rahman Yaa Rahiim, segala kegelisahan dan beban yang selalu saya rasakan begitu memberati selama ini telah terangkat. Saya temukan ketenangan yang indah, bila saya berdo’a begitu mudahnya air mata bercucuran. Padahal saya ini orangnya anti menangis. Setiap saat saya inginnya shalat terus, bahkan saya kembali membaca Al-Qur’an dengan mendapat tuntunan dari keponakan saya Aulia dan ibu saya. Saya kabari kakak dan adik-adik saya bahwa saya telah masuk Islam kembali, karena bagi saya kabar gembira sudah sewajarnya dibagi dengan orang lain.

Bila mengikuti perasaan, saya enggan untuk pulang ke Belanda. Apalagi suasana bulan Ramadhan di Indonesia begitu indah, begitu khidmat penuh rasa spiritual dan penyucian diri. Dengan berat hati saya meninggalkan ibu, kakak dan adik-adik saya kembali ke Belanda, tetapi kali ini ada rasa yang sangat berbeda yaitu saya kembali sebagai umat Islam.

Suami saya menerima dengan ikhlas dan pasrah ketika saya sampaikan bahwa saya telah kembali memasuki Agama Islam, begitu pula tanggapan anak saya ataupun kedua mertua serta saudara-saudara dari suami saya. Bahkan lucu sekali ketika mereka menanyakan tentang Kiblat, akhirnya suami saya sibuk membeli peta dunia yang besar untuk mencari arah Kiblat itu kemana. Saya menyadari perjuangan saya sebagai umat Islam belum berhenti di sini, semoga saya dikaruniai oleh Allah SWT waktu untuk memperbaiki diri, menjalani rukun-rukun Islam lainnya. Juga do’a saya semoga anak dan suami saya suatu saat dapat memeluk Agama Islam, Amien !



SalaMAA @ 6:34 AM








LINKS
Daftar Makanan Haram
Radio Minaara
Binaurrijal
KZIS
Eramuslim
Kafemuslimah
Republika
Ummi
Fahima-Jepang
Kharisma-Jerman
Masjid ITS




GALERI WORKSHOP

Ito
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called workshop salamaa | delft 2007. Make your own badge here.


Jesty
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called WS Elly. Make your own badge here.

Ferry
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from workshop_salamaa2007. Make your own badge here.

Cuplikan Video Workshop

BERITA CUACA


PREVIOUS POST


laahaula

dikilik

salata

salamaa17

saus

paprika

enni

istri5

pisangmolen

tahuisi


ARCHIVES
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
April 2008
June 2008
August 2008
September 2008
July 2009
September 2009
January 2010
May 2010
June 2010
July 2010
December 2010

Supported by
Blogger
Blogskins

Free JavaScript from

IKLAN ANDA