>
Photobucket - Video and Image Hosting
:::Photobucket - Video and Image Hosting Selamat datang di Blog Salamaa :::
Home
About Us
Ceramah
Arsip



SILATURAHMISALAMA




Email salamaa05@yahoo.com
Gabung di Milist Salamaa

alih

Image hosted by Photobucket.com

Alih-Alih
Oleh: Pipiet Senja - Jakarta

Tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh suara-suara keras, membentak dan menghardik. Oh, lebih dari itu, mereka pun memaki-maki, menyumpahi, menyerapah dan… Deeesss! Sebuah sikutan sangat keras, telak sekali menghantam tulang iganya.

“Aduuuh!” Dia menjerit kaget sekali. Sungguh tak sopan, tak tahu tatakrama! Siapa mereka? Tak cukup sampai di situ, seketika ada yang menyentakkan bahunya dari arah belakang. Breeet, heeekkk!

“Waaa… sakiiit!” Dia menjerit lagi, lebih kaget sekaligus mulai ngeri. Ini tindak kekerasan yang tak terampuni. Memangnya apa salah dirinya?

“Cepat sereeet! Keluaaar!” perintah salah seorang dengan berwibawa.

“Siaaap… booos!” serempak disambut, kompak sekali.

“Sebentar, sebentar… kalian siapa?” Dia mencoba protes.

“Diaaam!” hardik si wibawa.

“Harus ada penjelasan…”

“Sereeet! Keluaaar!” teriaknya lagi, dingin dan sama sekali tak peduli.

“Heeei… kalian pasti salah orang!”

“Diaaam, he, bisa diam nggaaak?”

“Tapi ini mau dibawa ke mana?”

“Keluarkan dia dari pesawaaat!”

“Iya, nanti bomnya keburu diledakkan di sini!”

Dia yakin, beberapa menit berselang dirinya ketiduran, melayang-layang di zona penerbangan antara India dengan Indonesia. Dia juga masih ingat, teman perjalanan di sebelahnya adalah seorang wanita 40-an, berwajah cantik, anggun dan terkesan perkasa. Sosoknya mengingatkan dia kepada pejuang wanita Cut Nyak Dhien.

Mereka sempat ngobrol ngalor-ngidul, dan dia langsung mengagumi retorikanya serta semangatnya. Siapapun yang bersinggungan secara santun dengannya, niscaya orang itu bisa ikut merasai daya juang yang dimilikinya. Dia sendiri saat itu lebih banyak mendengar, membiarkannya memegang kendali perbincangan. Sesungguhnya topik percakapan mereka telah menyentuh ke persoalan kemanusiaan, penderitaan, ketakadilan dan ketertindasan bangsa-bangsa dari dunia ketiga.

Aaaah, bangsa apa itu namanya? Kok jadi lupa mencatat di otaknya? Apa yang sering benar dikatakannya? Oh, ya! Demi menegakkan keadilan dan kebenaran, wanita perkasa itu bersama teman-temannya; berjuang sampai titik darah penghabisan! Demi kemerdekaan bangsa kami!

Dia sempat merenung sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, mengingat kondisinya yang serba glamor dalam tiga pekan terakhir. Sebuah kontes kecantikan di pusat mode dunia!

Sekarang matanya benar-benar sudah melek. Tak ada lagi teman perjalanan bersahabat yang pernah dikenalnya itu. Dia mulai menghitung, ternyata ada lusinan orang berseragam mengelilinginya. Sikap lelaki-lelaki berotot itu sungguh tak bersahabat. Dan peralatan yang mereka bawa, apa itu? Wuaduh, kok mirip pasukan gegana saja? Bukan, lebih tepatnya pasukan anti teroris!

“Amankaaan!”

“Siaaap!”

Sekilat itu, hanya dalam hitungan menit, mereka telah menggiringnya keluar pesawat. Ke mana para pramugari cantik yang ramah-ramah? Ke mana para penumpang multibangsa? Tidak, sungguh! Tak ada siapapun lagi dalam pesawat, kecuali dirinya dengan orang-orang berseragam yang berangasan.

Hhhh, siapa yang anti teroris? Apa tidak salah? Merekalah sesungguhnya yang sudah menterorku!

“Cepaaat…!”

“Wuaduuuh, lamban sekali?”

“Angkat saja, Bos?”

Zhieeeng!

Seketika dia tak dapat merasakan kakinya menjejak lagi ke bumi. Dua orang berseragam telah menyeret, menyeret dan menyeretnya terus, bahkan kemudian mengangkatnya.

Tepatnya, dua orang berseragam serba hitam itu tak membiarkannya menginjakkan kaki-kakinya kembali ke bumi persada. Sebuah negeri gemah ripah loh jinawi, negeri tercinta yang sangat dibanggakan, hingga dia sering berteriak kepada sesama peserta kontes kecantikan itu; “Aku gadis Indonesia! Aku sangat bangga negeri dan bangsaku!”

Terawangannya memudar perlahan. Pesawat yang telah membawanya dalam penerbangan panjang dari daratan Eropa itu pun, tampak mulai menjauh di belakang mereka. Di luar malam menyambutnya dalam hening yang mencekam. Ajaib, terawangannya kembali mengapung di tampuk matanya.

Lihatlah di sekitar bandara ini, pekiknya dalam hati.

Bola-bola lampu bagaikan mata penonton yang berkedap-kedip, menyaksikan dirinya, teman-temannya melenggak-lenggok memamerkan kemolekan tubuh. Peragaan bikini di kolam renang, wawancara yang disorot kamera dunia, perpaduan antara kecantikan dan kecemerlangan otak. Bukankah itu suatu hal yang sangat membanggakan?

Meskipun kemudian diberi tahu oleh adiknya bahwa keberadaannya di ajang internasional diprotes berbagai kalangan. Tapi dia tenang-tenang saja, apalagi saat mendapat aliran semangat dari para seniornya terdahulu. Baik melalui sms maupun telepon langsung dan imel.

“Biarkan gukguk menggonggong…”

“Karena kamu bukan bagian dari gukguk itu…”

“Maka tetaplah melangkah!”

“Ratu Sejagat… hiduuup!”

Tentu saja aku hidup, teriaknya pula dalam hati. Buktinya sekarang ia bisa merasai tindak kekerasan dan pelecehan. Dan ia tersentak dalam kubangan kemasygulan. Dunia glamor telah berlepasan satu per satu, repih demi repih dari tangannya. Hanya menyisakan kenangan semata dalam otaknya!

“Lepaskaaan!” sergahnya, tapi tak ada yang memedulikan protesnya.

Mereka menyeretnya terus, semakin cepat dan kasar, tubuhnya serasa lemas, kaki-kakinya sungguh tak menapak lagi. Dia masih bisa mendengar si komandan terus saja menyerukan perintah pengamanan, pengendalian, dan segalanya yang tak ada hubungannya dengan dirinya. Setidaknya demikian menurut perasaan dan pikirannya.

Ia memejamkan matanya dan mulai menyerap aura di sekitarnya. Inilah sepotong kenyataan yang menyambut kepulangannya dari ajang Ratu Sejagat. Ke mana panitia yang telah memberangkatkannya tempohari? Adiknya yang telah berjanji akan menjemputnya malam ini, ke mana, ke manaaa?

Alih-alih disambut meriah, ini malah sebaliknya diperlakukan tak manusiawi. Padahal kan lumayan membanggakan hasil keberadaannya di kontes kecantikan itu. Masuk dalam dua puluh besar, bayangkan!

Seharusnya aku disambut meriah, gerutunya meracau dalam hati. Bukankah panitia pernah menjanjikan gelar konferensi pers, diliput berbagai media massa. Mana buktinya, mana? Tidak, tak ada penyambutan meriah kecuali sepasukan mengerikan dan… teror!

***

Ruang karantina imigrasi, hmmm!

Jelas, mereka telah salah tangkap. Memangnya siapa aku yang telah bikin pasukan keamanan Ibukota geger dan seheboh itu, melakukan pengamanan seluruh kawasan Bandara Sukarno-Hatta? Sejuta tanya hanya berloncatan dalam hati. Kepalanya mulai mereka-reka, apa sesungguhnya yang mereka harapkan dari dirinya? Penghargaan, trophi dan bingkisan-bingkisan yang diberikan para sponsor? Semuanya masih di bagasi.

Ah, ia tak menemukan apapun di otaknya selain dampak kekacauan yang telah dijejakkan pasukan itu dalam sepuluh menit terakhir. Apakah dirinya harus menyerah begitu saja? Ini, ini… bukankah bukti nyata dari ketakadilan, ketertindasan tanpa hukum dan kebenaran?

Tanpa bisa ditolak lagi, interegosi pun dimulai.

“Duduuuk!”

“Eeeh… ya, duduk ya duduk…”

“Jangan berlagak pilon! Kami tahu benar, Saudari ini seorang intelektual yang briliyan. Saudari baru pulang dari Arab Saudi, mengikuti konferensi tingkat dunia…”

“Kalian salah tangkap!” serunya tertahan, dadanya mulai terasa sesak.

“Kami benar! Ini coba dengar data Saudari yang ada di tangan kami. Nama Ummu Kulsum alias Al Hamasah. Umur 42 tahun, kelahiran Palestina, dibesarkan di Perancis…”

“Bukaaan! Namaku Siti gak pakai alias-aliasan, eh… ada ding! Nanti kujelaskan! Pokoknya nama asliku Siti binti Sarjang. Biar keren dan marketable, kata agenku, diganti menjadi Kristinasari. Dan umurku gak setua itu, apa kalian gak bisa lihat penampilanku?”

“Wooo… muda nih yeee?!” entah siapa yang nyeletuk.

“Kenapa gak? Aku memang masih muda, umurku baru 24! Iiiih, sumpaaah!”

“Sumpah segala…?”

“Dengar, ya keteranganku! Aku ini asli orang Sunda, desaku di Tanjungkerta, rumah dan keluargaku di Gunung Halu…”

“Sudaaah! Diaaam!”

“Tidak, dengarkan dulu! Aku kuliah di Bandung, lagi nyiapin skripsi waktu datang undangan ikut kontes Puteri Indonesia. Aku menang, kalian tahu kaaan? Aku ini Puteri Indonesia yang diselundupkan ke mancanegara untuk mengikuti kontes Ratu Sejagat!”

Ia menceracau tanpa henti. Ia masih berharap suaranya didengar dan dicermati oleh seseorang yang bisa memahami kondisinya. Ia juga berharap bisa melihat sosok lain yang lebih bersahabat. Tapi kemudian, setelah tak ada yang berkomentar, matanya tak bisa melihat sosok yang diharapkannya. Ruangan ini sangat tertutup. Apakah ini ruang interogasi khusus untuk para penyelundup, pendatang haram, kriminal dan buronan internasional.

Hiiiiy…. Bulu kuduknya seketika meremang hebat!

“Percuma saja bicara dengan kalian…”

Ia bangkit, mengitarkan pandangnya kembali ke sekelilingnya. Lelaki-lelaki itu memiliki tatapan yang dingin, sangat dingin dan kaku sekali. Tak ada kompromi di sini!

“Duduuuk! Memangnya Saudari mau ke mana?” perintah lelaki paling berkharisma di antara selusin lelaki berseragam dalam ruangan itu.

“Sudah kuduga, kalian salah tangkap! Aku bukan orang yang kalian cari! Bukaaan!”

Ia berdiri tegak, meskipun dipelototi para lelaki yang siap secara maraton menginterogasinya. Seseorang kembali menghentakkan bahu-bahunya dengan kasar sekali, sehingga ia kembali terhenyak di bangku jelek yang keras.

“Kita kembali dari awal, ya. Kami harap Saudari bisa kerja sama. Nama Saudari…”

“Siti binti Sarjang, di dunia modeling lebih dikenal dengan pangilan Kristinasari,” ulangnya mulai bosan.

“Agama Saudari?”

“Islam tentu saja!”

“Kenapa nama kerennya seperti nonmuslim?”

“Sudah kukatakan, itu nama bikinan agenku.”

“Tempat dan tanggal lahir…”

“Kalian sudah tahu itu!” ketusnya sebal sekali.

“Iya, ini biar dicocokkan!” sergah si wibawa.

Dia baru mencermatinya, wajah lelaki itu terkesan galak, kumis baplang, perawakannya tinggi besar dan… buket! Iya, bau ketek!

“Oke, tempat kelahiranku di Gunung Halu, 17 Nopember…”

“Pasti tahun 1961 kaaan?!” si buket menohoknya tak sabar.

“Yeeeh… sok tauk! Bukan kok, aku kelahiran 1981!”

Ia melihat orang-orang itu saling pandang dengan tatapan sinis. Ada juga yang geleng-geleng kepala dan berdecak. Seakan-akan mereka mulai yakin ada yang tak beres di otaknya. Menit demi menit berlalu, beranjak pula menjadi jam demi jam yang seolah-olah sangat enggan bergeming. Sepanjang sisa malam itu, akhirnya, mereka habiskan di ruang interogasi. Pertanyaan yang memutar-mutar, nyaris tak bergeser dari identitas dirinya, dan aktivitas yang digelutinya.

Ia merasa telah menghabiskan seluruh enerjinya, tatkala menyadari malam telah merayap ke ujung dinihari. Begitu banyak pertanyaan dilontarkan, tapi tak satu pun yang bisa dijawabnya dengan benar. Demikian menurut mereka. Aduuuh, demi Tuhan! Cukup sudah!

“Aku gak paham dengan jalan pikiran kalian! Bagaimana mungkin aku diposisikan sebagai seorang teroris? Ini sungguh kekeliruan yang tak terampuni! Keliru dan gilaaa!”

“Kamu.. eh, Saudari ini memang teroris, buronan internasional!”

“Bukaaan!”

“Namamu Ummu Kulsum alias Al Hamasah!”

“Ngng…?”

“Jawaaab!” Teriakan menggelegar entah untuk ke berapa kalinya, kali ini meruntuhkan seluruh pertahanan yang telah dibangunnya. Ia sungguh lelah, otak dan fisiknya telah anjlok secara drastis.

“Aku… gak sanggup lagi…”

Bruuuk!

Gema adzan subuh sayup-sayup masih menyelip ke kupingnya. Ia masih sangat berharap suatu keajaiban. Agennya, panitianya atau adiknya yang mantan preman itu muncul. Mereka segera membebaskannya dari situasi kacau-balau begini. Ah, aaah… Tak ada keajaiban!

Mereka malah menyeretnya ke suatu tempat yang gelap dan pengap.

***

Sejak saat itu jam demi jam berdetak-detik dengan sangat tak karuan. Kegemparan maha menguntit bayangnya ke mana pun dirinya bergerak. Tidak, bukan bayangan realita. Karena di ruang sempit dan pengap ini sama sekali tak ada sepotong cermin sekalipun. Dan ia selalu sendirian!

“Keluarkan aku! Keluarkan aku! Kalian salah tangkap!”

Entah dalam hitungan ke berapa ia menjeritkan protesnya, menggedor-gedor pintu besi yang berjeruji besi itu. Tak ada yang memedulikannya. Bahkan meskipun ia melakukan mogok makan, mogok bicara, mogok buang air besar dan kecil, mogok… segalanya!

Pada hari ketujuh, tatkala dia nyaris putus asa, datanglah seorang petugas yang mengeluarkanya dari ruangan pengap, di mana banyak kecoa dan tikus yang berseliweran itu.

“Ini… mau dibawa ke mana?”

“Bos yang memerintahku. Jangan banyak protes!” hardiknya galak sekali.

Sebuah ruangan serba hijau dengan bola lampu khusus untuk interogasi, seorang lelaki berkepala besar telah menantinya. Sikapnya seolah-olah sudah tak sabar lagi, “Kamu hanya buang-buang waktu dan enerji kami saja!” cetusnya dingin.

“Ke mana lainnya?” tanyanya tak peduli, lebih mengkhawatirkan keberduaan mereka. Bagaimana seandainya lelaki ini mem… Hiiiy!

“Huahaha… aku gak segila seperti yang ada di otakmu! Ngeres sekali isi batok kepalamu itu!”

“Tapi kan biasanya kalian main keroyokan?”

“Sekarang sudah lebih seminggu, kami memutuskan hari ini harus final!”

“Oya?” serunya menjengek, tapi harus diakui kabar ini setidaknya membangkitkan asa di relung hampa dalam dadanya.

Terbayang di benaknya, ia akan langsung pulang ke kampung halamannya di Gunung Halu. Ia harus mengomeli Asep, adiknya yang ingkar janji itu.

Ah, tapi sudahlah, dia boleh dimaafkan. Sebab yang telah merawat ibu mereka selama ini adalah Neneng, istrinya yang masih belia. Jadi, kesalahan kecil begitu harus diterima dengan lapang dada. Sebagaimana ia berlapang dada ketika Asep meminta restu untuk melangkahinya. Adiknya yang pemberontak dan nyaris menjadi ucing gering1 terminal Leuwi Panjang memang menikah dini. Sejak itu kehidupannya berubah total menjadi baik.

“Kami akan melepaskan Saudari dengan syarat…”

“Mengakui identitas yang selalu kalian cekokkan ke otakku itu, ya?”

“Begitulah.”

“Tidak! Itu tidak benar! Tolong, saya mohon sekali lagi dengan segala kerendahan hati,” napasnya mulai terengah-engah. “Cobalah kalian konfirmasikan identitasku dengan Asep bin Sarjang, adik kandungku. Atau hubungi agenku dan panitia…”

“Sudah, semuanya sudah kami konfirmasi.”

“Begitukah?”

“Mereka tak mengakui Saudari. Intinya mereka menyatakan tak punya sangkut-paut apapun dengan Anda!”

“Bohooong!”

“Ini surat pernyataan dari orang-orang yang Anda sebut sebagai agen, panitia dan adik Saudari itu.”

Lelaki itu memamerkan berkas-berkas di atas mejanya. Dia, perempuan yang telah disekap di ruang karantina Cengkareng itu, segera mencermatinya; tiga lembar surat pernyataan dengan stempel berarti resmi. Dari Jay Julian, agennya yang bencong habis, dari Marcelina Gurindam, mantan finalis Ratu Sejagat satu dasawarsa yang lalu. Dan dari Asep bin Sarjang!

“Mereka memang gak mengakuiku, ya…?” Bibirnya gemetar, tubuhnya serasa lunglai, tulang-tulang pun bagai berlepasan. “Bagaimana sebenarnya nasibku sekarang?”

“Kami akan mendeportasi Saudari ke Amerika!”

“Apppaaa?” pekiknya tertahan.

“Ya, Saudari kan jelas-jelas buronan internasional. Amerika sudah mengajukan permintaan… ini surat resminya!”

Beberapa saat kemudian segalanya berlangsung begitu superkilat. Ia dikawal ketat pasukan anti teroris, menuju sebuah pesawat berbendera Amerika. Sia-sia ia menjeritkan protesnya, karena mulutnya kini diberangus bak seekor hyena liar yang bisa membahayakan sekitarnya.

Jarak dirinya bersama para pengawal semakin dekat dengan pesawat itu, semakin dekat, semakin dekat… Saat ada sebuah suara berteriak dari kejauhan!

“Alooow… Ummu Kulsum selamat jalaaan!”

Ia menoleh, matanya membelalak lebar sekali. Sosok itu, gadis cantik bertubuh ramping dengan rambut ikal mayang, bukankah itu dirinya? Oh, ini gila sekali! Mengapa sosoknya berada di seberang sana bersama rombongan kecil, para penjemputnyakah? Bukankah itu adiknya, Asep bin Sarjang? Jay Julian dan Marcelina Gurindam?

Sebelum ia sempat bereaksi atas sensasi itu, mereka telah mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparkannya ke pintu pesawat. Dan di sanalah, di pintu pesawat yang ada cerminnya itu, matanya menangkap sosoknya saat ini; seorang perempuan 44-an, berwajah anggun dan terkesan perkasa.

***




1 sebutan untuk preman



SalaMAA @ 6:23 AM








LINKS
Daftar Makanan Haram
Radio Minaara
Binaurrijal
KZIS
Eramuslim
Kafemuslimah
Republika
Ummi
Fahima-Jepang
Kharisma-Jerman
Masjid ITS




GALERI WORKSHOP

Ito
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called workshop salamaa | delft 2007. Make your own badge here.


Jesty
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing photos in a set called WS Elly. Make your own badge here.

Ferry
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from workshop_salamaa2007. Make your own badge here.

Cuplikan Video Workshop

BERITA CUACA


PREVIOUS POST


salamaa14

syubhat

istri2

gulaikambing

pol1

tua

harira

salamaa13

soto

jeroan


ARCHIVES
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
April 2008
June 2008
August 2008
September 2008
July 2009
September 2009
January 2010
May 2010
June 2010
July 2010
December 2010

Supported by
Blogger
Blogskins

Free JavaScript from

IKLAN ANDA